Suatu ketika kulangkahkan kaki menuju sebuah lorong yang begitu riuh. Lalu duduk di antara pasang mata memandang. Banyak makna terpancar. Hawa bosan jelas kudengar.
Kala itu, di sebuah ruang farmasi di mana menunggu menjadi hal yang lumrah terjadi. Ketika sang peracik obat bekerja. Kita pun harus rela menunggu antrian yang kita terima.
Apalagi bila kita datang terlambat. Maka haruslah bersiap. Mendapat giliran paling belakang. Tentu semakin menikmati acara menunggu antrian yang cukup panjang.
Ruang farmasi merupakan ruang yang kerap terlihat orang dengan kepentingan yang sama, yaitu menunggu. Mereka berkumpul usai berjumpa dengan sang pemeriksa kesehatan yang bisa saja berbeda. Namun menebus obat pastilah berada di satu ruang yang sama. Jelas suasana menunggu akan menumpuk di ruang itu.
Mendapati antrian cukup panjang sudah pasti terjadi dan harus dihadapi. Bersama menunggu sang peracik obat melakukan tugas kenegaraan, menjadi ajang yang kerap dipertontonkan.
Bosan tentu saja. Acap kali gelisah melanda di setiap sudut ruang yang ada. Apalagi meracik model obat untuk anak cukuplah lama. Harus diolah sedemikian rupa, tak mungkin dilakukan dengan segera. Akibatnya, semua orang harus setia menunggu giliran tiba. Meski diselimuti rasa bosan yang kian meraja.
Pernah satu ketika aku mengajak anakku bersama. Menikmati indahnya suasana menunggu di ruang yang sama. Rupanya tak berapa lama, dia sudah menggerutu hingga ingin berlari dan mengakhiri acara menunggu dengan segera.
Tak hanya di ruang farmasi, menunggu merupakan sebuah penantian yang bisa dialami siapa saja, kapan saja, dan di mana saja.
Beberapa titik seperti stasiun kereta api, kasir supermarket, praktek dokter, bandara, dan beberapa tempat umum lainnya. Pasti terjadi sebuah hal yang memaksa diri berjibaku dengan kata "menunggu".
Apalagi jika menunggu seorang diri. Uh bosan bosan bosan. Seolah terpenjara sepi di tengah keramaian. Jika terpaksa harus menunggu sendirian, kucoba menyapa orang yang duduk berdampingan. Tuk sekadar membunuh kesunyian. Di antara serpihan rasa bosan yang menyerang. Tak kuasa diri terkungkung dalam kesendirian di tengah deru penantian yang menerjang.
Menunggu, sungguh menuai rasa bosan yang begitu menggebu. Tentu. Apalagi jika ada hal selanjutnya yang harus dikerjakan dengan segera. Kerap kita lupa membawa selimut keikhlasan. Sehingga berujung pada kekecewaan yang mendalam. Haruskah demikian?