Lihat ke Halaman Asli

Uniek Kaswarganti

Momblogger dari Semarang

[Untukmu Ibu] Dahulu Aku Membencimu

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

by Uniek Kaswarganti - no. 60

Tak ada kata yang pantas kusampaikan selain MAAF, Bu. Maaf untuk semua prasangka buruk yang selalu kutimpakan atas ketulusan budimu. Tak hanya dahulu. Hingga kini budi baikmu terus mengalir dalam setiap helaan nafasku.

Aku baru mengingat semua itu, Bu. Dahulu, aku tak pernah kauajak bepergian dan bersenang-senang.

Di masa lampau, aku hampir tak pernah kaubelikan baju baru, bahkan saat jelang lebaran sekalipun. Baju yang itu dan itu lagi. Seringkali bekas baju kakak perempuanku yang sudah kekecilan. Warnanya sudah pudar di sana sini. Atau bila bisa disebut baju yang benar-benar baru bagiku, paling-paling itu berupa kain murahan yang kaupotong, kaupola dan kaujahit untukku. Jahitannya yang tak rapi sering membuatku tersenyum kecut saat berada di tengah-tengah kawan-kawanku yang anak orang kaya, yang mengenakan gaun baru bak putri. Meski sering kaupuji aku saat mengenakan baju buatanmu itu dengan “Wah, cantik sekali putri ibu, warna baju yang terang ini sama bersinarnya dengan wajahmu, Nak.”Ah Ibu, bukan warna terang itu namanya. Kain yang kaujahit itu terlalu menyolok warnanya, tak cocok untuk aku yang berkulit hitam legam akibat sering terpanggang sinar matahari.

Dulu, tak ada sarapan yang menenangkan setiap hendak berangkat sekolah. Selalu terburu-buru. Bagaimana mau tenang jika bangun tidur terkaget-kaget dan buru-buru memberi makan ayam peliharaan yang ribuan jumlahnya. Untuk kakak-kakakku yang usianya memang jauh di atasku tentu itu hal yang mudah. Namun untukku yang baru kelas satu SD, tega nian kauberikan instruksi serupa.

Tertatih-tatih aku membawa ember berisi pakan ayam petelur itu. Belum lagi saat harus membawa air untuk mengisi ulang tempat minum ayam-ayam nakal itu. Ya, mereka nakal sekali. Setiap kali tempat minumnya kulepas untuk kucuci, mereka selalu mematuk tanganku. Sakit, Bu, kenapa sih aku harus selalu terus kausuruh-suruh untuk melakukannya? Masih teringat hingga kini, saat memberi makan dan minum ayam di trap kandang kedua, yang letaknya di atas itu, aku harus menyeret tangga kayu kesana kemari agar bisa menjangkau tempat makan ayam itu. Dipatuk lagi tanganku saat menggapai-gapai ke atas. Sakit, Bu, bukankah aku sering mengadukan hal itu padamu? Kenapa besoknya masih harus mengulanginya lagi sih Bu?

Selesai memberi makan dan minum ayam-ayam peliharaan kita, bukan berarti tugasku sudah selesai. Setelah mandi dan sarapan yang selalu terburu-buru tadi, aku masih harus membawa termos es ke beberapa warung. Ratusan bungkus es aneka rasa yang semalam kausiapkan dan telah membeku di dalam lemari pendingin harus diedarkan ke beberapa warung terdekat. Aku dan kakak-kakakku berpencar ke segala penjuru. Menitipkan termos es itu dengan sejuta harap saat sore nanti termos itu telah habis isinya. Uang yang dititipkan para pemilik warung itu sungguh membuat wajah ibu cerah sumringah. Pertanda esok hari kami akan membawa termos es itu lagi dengan isinya yang bertambah banyak. Tambah berat nih Bu.

Kenapa sih, Bu, kenapa aku yang masih kecil sudah harus susah seperti itu? Sekolah pun tidak ada yang mengantar. Aku baru kaubelikan sepeda saat naik kelas empat. Sebelumnya selalu berjalan kaki ke sekolah bila kakakku tidak mengantar. Sepeda itu kudapat juga tidak dengan cuma-cuma. Harus juara dulu di kelas. Haduh, jadi juara kelas kan berat sekali dengan kondisi hidup seperti tadi Bu. Masak harus belajar ekstra keras, sedangkan fisik kaupaksa untuk melakukan berbagai aktivitas yang sebenarnya belum selayaknya kulakukan. Kenapa, Bu, kenapa tega sekali padaku?

Saat aku ingin sekali bisa membeli roti yang enak di toko roti terkenal yang ada di kota tempat tinggal kita, engkau justru lebih memilih membeli tepung gandum kiloan yang kadang-kadang apek itu, mentega kiloan yang tidak gurih, plus gula, sukade dan bubuk coklat murahan. Kauayak, aduk dan masak di pemanggang roti kuno yang sudah koyak di beberapa bagian. Kadang-kadang kaujadikan bolu kukus, kadang-kadang jadi kue jenis lain yang harus kutelan dengan paksaan bergelas-gelas air putih. Ah Ibu, susah sekali kah hidupmu, hingga harus kumakan roti dan kue tak enak yang kaubuatkan waktu itu?

Aku masih ingat, dulu sering memandang teman-teman yang makan aneka jajanan dari kantin. Bukan karena aku tak kauberi uang jajan, Bu. Uang itu akan selalu kusimpan, kukumpulkan, dan bila telah cukup jumlahnya akan kubelikan buku-buku bacaan kesukaanku. Tak ada alokasi dana khusus untuk membeli hal-hal seperti ini kan dulu, Bu? Padahal aku suka sekali membaca. Mulai dari cerpen anak hingga kisah legenda, semua aku suka. Aku lebih rela gigit jari saat teman-temanku sedang asyik mengunyah es puding, roti krim, keripik pedas, dan aneka jajanan lainnya daripada tak bisa membaca. Oh Ibu, pengorbanan macam apakah yang harus kulakukan saat kecil itu? Pantaskah aku bila saat itu membencimu dan menganggapmu tak sayang padaku?

Semua kilasan masa lalu masih membayang dengan jelas kini, Bu, saat kutatap sorot matamu yang tetap tegas hingga kini. Ketegasan bercampur ketegaran hati yang mengantarkanku pada berbagai prestasi maupun kemudahan semasa remaja.

Saat beranjak remaja, di kala perekonomian keluarga kita telah cukup mapan, aku telah terbiasa dengan pola hidup sederhana yang kauajarkan dulu, Bu. Kebiasaan menyimpan uang jajan terus berlangsung hingga tak sadar pundi-pundiku telah terkumpul luar biasa banyak untuk ukuran gadis remaja belum tujuh belas tahun. Aku memang telah mengenal tabungan di bank sejak SD, bangga luar biasa aku Bu dulu saat menatap cetakan buku bank yang menunjukkan bertambahnya deretan angka di sana.

Kala teman-temanku di SMA lebih memilih menghabiskan uang jajannya untuk membeli kalung, cincin, sepatu bagus, rok jeans ketat, maupun bedak bermerek ternama, aku lebih senang mengkoleksi buku-buku karangan Arswendo Atmowiloto, Bung Smas, maupun Enid Blyton. Itupun masih sisa banyak lho saldo tabunganku, Bu. Bener, belum habis kok.

Jadi saat masuk di bangku kuliah, kala aku mulai tergila-gila mengikuti berbagai perjalanan di gunung, laut, pantai maupun gua, bersama teman-teman priaku yang rata-rata berambut panjang semua, aku jarang meminta tambahan dana padamu kan, Ibuku sayang? Padahal tak sedikit loh bekal untuk bepergian itu. Apalagi bila ingin makan enak nanti pas pendakian di gunung-entah-dimana, aneka jenis makanan kalengan bisa kubeli di saat teman-temanku hanya mampu membawa mi instan. Aku bahagia bisa menyenangkan temanku, Bu.

Seperti itukah dulu rasamu saat mengetatkan ikat pinggang demi anak-anakmu Bu? Bisa tersenyum senang saat kami anak-anakmu tumbuh sehat berkat makanan yang kaubuatkan sendiri, tidak jajan sembarangan. Badan kami kuat dan bisa bergerak tangkas karena selalu aktif membantumu. Lantas, masih pantaskah bila kuingat dulu pernah membencimu, menuduhmu tak sayang padaku?

Sungguh terlalulah aku, Bu? Masih saja selalu menuntut ini dan itu padamu. Padahal perjuanganmu terus berlanjut manakala bapak pergi menghadap Sang Khalik. Engkau harus membiayai kuliahku sendirian, Bu. Ah Ibu, baru terasa luar biasa saat itu bagiku. Baru tertamparku pada kenyataan bahwa sesungguhnya kau tak pernah menyenangkan dirimu sendiri. Selalu harus melindungiku tanpa aku tau, bahkan tanpa pernah berterima kasih padamu.

Kini baru aku rasakan betapa gemasnya dirimu saat aku sering membantah padamu. Kedua buah hatiku sering membuatku darah tinggi, Bu, dengan berbagai tingkah laku mereka yang kurang lebih sama dengan apa yang kulakukan dulu. Tentu engkau sedih sekali ya Bu saat aku tak menurut padamu dulu. Apalagi bila sampai engkau tau bahwa aku pernah membencimu. Oh, Ibu…

Terlalu ya Bu, sungguh terlalu diriku. Selalu menyusahkanmu. Bahkan selepas aku bekerja pun aku terus merepotkanmu. Menikahkanku dengan segala keterbatasan dana yang kaumiliki sebagai pensiunan janda. Terus terang aku tak pernah berpikir bahwa dulu saat itu aku memberatkanmu, Bu. Engkau terus tertawa bahagia sih, mana kutau kalau saat itu kau pening sekali mencari segala cara dan celah yang bisa kautembus agar bisa mewujudkan resepsi pernikahan yang teramat indah untukku.

Ibu, aku tak kuat lagi. Ingin sekali kumenangis dan bersimpuh di kakimu. Sungguh banyak sekali dosaku padamu. Setiap kali aku berteriak jengkel pada anak-anakku, saat itu pula kembali terbayang kesabaranmu dulu menghadapiku. Engkau jarang sekali marah. Paling-paling hanya diam dan memandangku penuh tatapan terluka. Tapi itu baru kusadari sekarang, Bu. Dulu aku tak paham arti tatapanmu itu.

Terlambatkah kini bila aku minta maaf padamu, Bu, untuk semua prasangka buruk di masa lalu itu? Bila hingga kini aku belum bisa juga membahagiakanku, sebagaimana engkau membahagiakan aku dulu, sudikah kauterima permintaan maafku tadi, Bu? Aku belum bisa membalas segala jasa baikmu. Hanya mampu memanjatkan doa setinggi ujung cakrawala yang dulu pernah kukejar di tiap pendakianku. Semoga ibu  baik-baik saja dan sehat selalu, hingga bisa dengan bangga mengikuti cucu-cucumu tumbuh dan berkembang dengan sempurna. Paling tidak ibu bisa menyaksikan perilaku mereka nantinya jauh lebih baik dari ibunya dulu.

NB : Untukmembaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community

Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline