Familiar dengan aneka goyangan yang sedang 'in' saat ini? Atau gangnam style mungkin? Tau lah ya tentunya... Hari gini masak tidak mengikuti yang sedang trend, apa kata duniaaa...
Nah, kalau tarian serimpi, tau? Bondan? Bedaya? Nggak tau? Oh, sudah lumrah, anak masa kini ya, tentunya lebih memilih yang modern dan keren.
Ah, batin saya sering sedih jika mengingat percakapan di atas. Dulu jaman saya masih kecil juga suka begitu, menganggap tarian tradisional itu ketinggalan jaman. Padahal di satu sisi, dalam salah satu acara televisi ajang pencarian bakat, ada si kecil Sandrina yang memukau dengan energinya yang memancarkan aura saat menari.
Namun, yang lalu tak bisa ditarik kembali. Kembali ke akar budaya Jawa, tempat lahir dan dibesarkan, banyak sekali caranya. Kebetulan di tempat saya tinggal, Semarang, ada satu sanggar kesenian tradisional yang hingga kini masih terus menggiatkan aneka kegiatan untuk mendukung tertanamnya kecintaan pada negeri sendiri di kalangan anak muda.
[caption id="attachment_301364" align="aligncenter" width="581" caption="Sanggar Seni "][/caption]
Berada di pinggir jalan raya Dr. Cipto, pada lokasi yang rawan banjir, perjuangan Sobokartti untuk meraih popularitas di mata anak muda sungguh terengah-engah. Justru karena itulah saya dan suami memutuskan untuk mendukungnya dengan mengirim si sulung yang waktu itu berusia 7 tahun ke sana. Kami tak peduli meskipun gerakan tangan, kaki maupun kepalanya masih kaku, yang penting dikenalkan sejak dini.
[caption id="" align="alignleft" width="172" caption="gerakan ulap-ulap"][/caption] Tingginya tingkat kesulitan dalam menari Jawa memang menjadi salah satu faktor yang membuat banyak anak muda enggan 'menyentuh'nya. Padahal dari tiap-tiap gerakan yang sulit itu mengandung berjuta makna yang kaya dengan simbol kebudayaan. Misal seperti pada salah satu gerakan yang diperagakan oleh penari senior Sobokartti ini (mba Lidya - sumber foto grup Facebook Sobokartti). Gerakan yang dinamakan 'ulap-ulap' ini memiliki arti tersendiri. Meski sederhana (ulap-ulap menyimbolkan gerakan melihat), justru di sanalah letak keistimewaan ragam budaya Indonesia yang terkandung dalam tarian tradisional. Lalu, ingatkah pagelaran tari Ramayana (Ramayana Ballet) di Prambanan yang sering disaksikan oleh banyak turis mancanegara? Siapa yang bisa mengawal kelestariannya bila bukan generasi muda nantinya.
Back to the root. Kembali saya sadari, saat dalam keseharian berbahasa Jawa sudah mulai ditinggalkan, apalagi menari Jawa yang membutuhkan 'practise' tersendiri. Bila orang tuanya saja enggan mengarahkan, apalagi anaknya. Mau jadi generasi gadget ya? Keberadaan gadget bukan hal yang tabu, namun bila sampai menggeser akar budaya yang prinsip, itulah sebenarnya saat dimana kita sebagai orang tua sudah harus mulai melirik 'jalan yang benar'.
Berbagai macam kekayaan Indonesia seperti yang ada di Indonesia Travel memang sungguh mempesona. Kita selalu ingin menjadi bagiannya, ingin mengunjungi berbagai kekayaan alam itu. Namun tak semua orang punya keberuntungan semacam itu. Bisa saja karena kendala budaya ataupun keterbatasan waktu. Nah, mendukung kekayaan bangsa bisa melalui beragam cara kan? Salah satunya, yang paling kecil seperti yang bisa saya lakukan, ya seperti yang tercantum di atas.
[caption id="attachment_301365" align="alignleft" width="300" caption="Persiapan pentas"]
[/caption]
Pada ulang tahun Sobokartti yang ke-82 pada 27 Oktober 2013 yang lalu, putri sulung saya terpilih untuk membawakan tarian Candik Ayu. Meski telah 1 tahun latihan menari, menurut saya gerakannya masih kaku sekali. Tapi menurut pengajarnya itu tak masalah, yang penting ada kepercayaan pada diri si anak, bahwa dia bisa menarikan tarian apapun. Asalkan berlatih dengan tekun, niscaya suatu hari ia akan mencintainya dengan tulus. Ya, saya sependapat sekali.