Lihat ke Halaman Asli

Cinta Tanpa Syarat

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Terinspirasi dari konsep album Dream Theater, Scenes from a memory.

Thomas menarik napas, seperti anjuran Dr. James Watson, psikolog ternama di kota ini. “Bisnisku mulai memburuk setahun yang lalu. Kami berpisah dua bulan kemudiaan. Kini aku merasa…tak berguna…” Tom tampak frustasi dan tergoncang.

“Cobalah untuk rilek. Oke? ya, Baik. Berapa usia putramu, Tom?”

“Kurasa enam atau delapan…astaga, aku tak mengingatnya! Dia berbeda, Dr. Watson, dia suka mengulang kata-kata dengan konyol, dan matanya tidak…”

James beranjak dari tempat duduknya, “Semua akan baik-baik saja. Anak-anak PDD mungkin dianggap berbeda karena jumlah mereka yang sedikit, ibarat benda limited edition, mereka adalah anak-anak istemewa, ketahuilah itu.”

Tom mengangguk pasrah,” Memang…aku bukan Ayah yang baik”. Ia selalu mendapatkan kebahagiaan, Tom mempunyai orang tua yang selalu memberikan kasih dan materi yang Ia pinta. Tumbuh menjadi anak yang sedikit manja namun kuat dan cerdas, menjadi lulusan terbaik di universitas terkenal, semua itu membuatnya selalu menginginkan lebih dan tidak waspada terhadap roda kehidupan.”Ini tidak berbahaya,kan?” Tom memperhatikan sekeliling ruangan. Rapi, bersih, dan harum…Seperti peppermint, tidak ada yang mengkhawatirkan di sini, gumamnya dalam hati.

“Kau sudah melihat bukan? Sebentar lagi jam menunjukkan pukul sepuluh malam. Jam dinding itu akan mengayunkan bandulnya.”

Tom mengangguk paham.

“Pejamkan matamu. Tarik napas dan keluarkan dengan perlahan. Bayangkan kau seorang burung dalam sangkar jam tersebut. Kau ingin keluar, mencari tahu semua yang ingin kau tanyakan. Saat dentingan terakhir kepakan sayap dan terbanglah.” Ten. Nine. Eight. Seven. Six.”Kau akan berada di tempat yang nyaman, Thomas.” Five. Four. Three. Two. “Bukalah matamu bila suatu saat ingin kembali.”One.

James tersenyum memandangi bagian diri Tom yang telah pergi.

***

Pepohonan lebat dan semak-semak belukar menutupi jalan keluar. Tom kerepotan menebas tanaman liar tersebut. Ia juga tidak yakin inilah tempat “tujuannnya”. Setelah satu jam Ia menerobos, tibalah Ia di sebuah sungai kecil.” Apa kabar, Thomas?”. Ia berbalik mencari sumber suara.” Kau tahu namaku? Siapa kau?”

Air mata keluar dari pelupuk mata gadis itu, lalu Ia menghilang begitu saja bersama kabut. “Hei, jangan pergi!” Tom berlari keluar menuju desa, agak merinding di dalam hutan itu. Setelah berjalan cukup lama Ia menemukan sebuah gubuk untuk melepas penat. Tiba-tiba seorang kakek keluar,”Apa yang kau lakukan di luar sini? Kau pemulung,ya? Maaf-maaf saja aku tak punya tempat untukmu!”

“Bukan, bukan. Aku mencari seorang perempuan, umurnya sekitar delapan belas tahun, tidak terlalu tinggi, rambutnya ikal, dan…”

“Matanya cekung?”

“Ya. Aku bertemu dengannya di hutan. Dia mengenalku-seperti tahu namaku. Apa Ia orang sini?”. Dahi kakek itu berkerut,”Kau gila? Catherine sudah meninggal musim dingin lalu. Badai besar menerpa desa kami.” Mulut Tom menganga lebar, ingatannya tertuju pada badan kurus gadis itu yang menyedihkan, dengan mata sayu yang ingin memberikan petunjuk padanya.”Aku tak percaya. Apa yang terjadi?”. Kakek itu diam sejenak,”Bila kau memaksaku akan kuceritakan, di desa ini ada seorang pengusaha kaya raya, dia mempunyai gedung pertunjukan, sekitarseratus meter dari sini, warga berbondong-bondong tiap malam ke sana, suatu hari saat pertunjukan opera “Moonlight Sonata”, api melahap gedung dan menewaskan seluruh pengunjung, termasuk Sir Freddie Houston, pemiliknya.”

“Tapi aku tak menemukan korelasinya-maksudku hubungan Kate dengan Freddie.”

“Kate adalah putrinya, walaupun Ia tak pernah mengakuinya secara gamblang-itu karena putrinya tidak normal, idiot. Sebenarnya Catherine termasuk cerdas, Ia pandai memainkan piano, aku sempat mendengarnya saat melewati gudang wardrobe, sudahlah aku tak ingin membicarakannya lagi. Datang saja ke teater itu mungkin kau akan menemukan, Sesuatu.”

“Kumohon, ceritakan padaku! Oh,sial!” Tom mengetuk pintu kakek itu, akhirnya Ia memutuskan untuk pergi.

***

Tak ada yang kuingat lagi, kecuali berada di depan bangunan dengan pagar keok, dan batuan berlumut. Aku mencoba melihat lebih dekat, namun mungkin terbius atau apa, kepalaku sangat pening. Aku belum masuk, namun saat aku terbangun aku sudah berada dalam gedung teater, masih rapi, bersih, dan harum seperti…peppermint.

Seorang pria bertubuh besar, kurasa dialah Sir Freddie Houston menyeret putrinya masuk ke dalam gudang,”Aku tak mau tahu awasi anakmu jangan sampai berkeliaran, kau mengerti?!”. “Dia hanya ingin bermain, Fred. Coba beri dia kesempatan.”Ibu Kate membela. “Kesempatan, bisa apa dia? menjadi artis? ilmuwan?, dia bahkan tak bisa membaca ! Mau ditaruh mana harga diriku? hah!”Aku miris mendengarnya, apa aku juga seperti itu pada putraku, aku memang tidak mengucapkan kata-kata itu tapi…

“Maafkan,ibu…”Kunci diputar dari luar. Kate menggedornya,”Ayah, Kate takut sendirian. Ibu Kate takut sendirian…” Kulihat bekas tamparan dan memar di sekujur tubuhnya. Dengan polos, Ia berjalan menuju piano tua di pojok. Kate tidak lancar membaca, dia mirip putraku, namun caranya memainkan jemari di atas tuts, dia seperti maestro, Kate belajar dari pengalamannya, bukan membaca.

Suatu hari, aku pernah dipaksa mengunjungi pameran seni di sekolah putraku, namun aku tidak datang karena kesibukan atau mungkin ketidakpedulianku, sepulang dari sana mereka berdua asyik bercerita tentang lukisan, trofi, dan piagam yang diperoleh anakku. Ia mendekatiku untuk menunjukan penghargaan itu, dengan egois aku membentaknya, dan memintanya berhenti mengganggu kesibukanku.Istriku menatapku dengan tajam, ia mulai menjauhkanku dangan anakku. Masalah baru terus bermunculan, hingga kami menempuh jalan yang berbeda, perpisahan.

Kulihat buntalan-buntalan kertas di lantai ini, Ia berusaha sekuat tenaga menjadi anak “normal”harapan Ayahnya. Ia mencoba menulis sekali lagi, kutatap apa yang Ia coba sampaikan, KATE MAU MAIN BENTAR. Dia sudah naik pada jendela yang terbuka, dan siap-siap pergi dari sini. “Wah, hebat sekali pertunjukan tadi, kau lihat bagaimana akting anak buahku, kan?” “Ya.” Pintu dibuka.

“Hei, kau mendengar perintahku tadi kan? Dimana anak itu?”

“Oh, tidak! Kate hilang…”

“Lagi-lagi dia seperti ini, aku muak dengannya!”

“Bagaimana kalau…” “Sudahlah dia akan kembali lagi, kudengar anak imbesil punya pertahanan tubuh yang baik, heh.” Aku marah mendengarnya, monster macam apa dia? Anaknya minggat, dan dia hanya…. Kuputuskan untuk mengejar Catherine. Seperti dugaanku, dia ada di sungai. Airnya membeku, karena salju. Dengan kaki telanjang, Ia bermain ice-skating, kurasa Ia terlalu jauh ke tengah-tengah sungai. Tiba-tiba es itu retak, Catherine terjun kebawah.

“Astaga! Bertahanlah, aku akan mengeluarkanmu!” Aku benar-benar khawatir, jantungku berdetak cepat. Aku ikut melompat ke sungai, tidak bisa, aku tak dapat menyentuh apapun. Kate mencoba menggapai tepi. Kumohon bertahanlah, Kate, kau gadis yang kuat. Andai saja aku dapat berteriak meminta bantuan. Ia kekurangan oksigen. Bibirnya yang semakin biru mengucapkan sesuatu. I-bu, Kate tidak bisa pulang…” Air mataku menetes, aku tidak tahan menyaksikannya. Mataku perlahan mulai terbuka.

***

Thomas sedang membereskan rumahnya. Ia merapikan barang-barang yang berserakan di lantai dan menyapunya hingga bersih. Sebuah foto terjatuh, dipandanginya gambar itu, begitu dekat namun asing, Keluarga, tangan-tangan mereka sedang membopong green jobfish sambil menyunggingkan senyum di festival memancing. Keakraban inilah yang dirindukan rumah ini dulu. Yang kadang mereka berdua ciptakan tanpa aku , menggambar, bercerita, menghias kue, becanda,...

Ia bergegas menuju garasi mobil, dihidupkannnya mesin. Ia ingin membicarakan tentang Kate dan putranya juga berterima kasih kepada Psikiater muda itu atas bantuannya selama ini, walaupun Tom tidak bisa kembali menyatukan keluarga kecilnya, setidaknya sang istri menyalakan lampu hijau untuk menemui putrannya. Dua kali dalam seminggu, mungkin akan menjadi hari-hari terbaik sepanjang hidupnya.

“Perasaan baru kemarin lusa, tapi memang itu faktanya, Pak.”

“Sepanjang hari saya disini, mungkin anda lupa kali. Coba diingat, alamatnya, namanya, tanggalnya.” Lelaki paruh baya itu tengah sibuk melayani pembeli, mengambil cone, menuangkan es krim, ada vanilla cookies, straw-volcanoes, dan apa itu yang biru muda...? Peppermint?

“Masa iya sih saya sudah pikun?” Tom menggelengkan kepala tak percaya. Tanpa anda suruh, saya masih ingat betul sesi terakhir bersama Dr. Watson. Huufff. Ia mengedarkan pandangan ke bioskop dua tingkat di depan jalan. Tidak terlihat seperti gedung yang baru saja dibangun. “Kalau begitu terima kasih, Pak!” Tom bergegas pergi, takut disangka gila jika berdebat lebih jauh. Aku sudah janji menjemput Dean . Lelaki penjual es krim itu hanya tersenyum setelah mobil melaju kencang.

Pukul sebelas, anak-anak kecil mulai berlarian dari ruang kelas. Tom segera keluar mobil mencari-cari. “Papa!”

Seseorang berlari menerjangnya. Tom tertawa dan membalas pelukan itu. “Apa kabar, Sayang? Kau siap jalan-jalan, jagoan kecil?”. Dean terlihat berpikir, “Bolehkah aku pilih tempatnya?”

“Tentu saja! Untuk hari ini dan besok.” Dan kuharap seterusnya.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline