Lihat ke Halaman Asli

Unggul Sagena

blogger | educator | traveler | reviewer |

Lemah Aturan, Beragam Trik Jerat Pengguna Baru Rokok Elektrik di Platform Digital

Diperbarui: 20 April 2022   00:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Peluncuran hasil riset berjudul "Vape Tricks di Indonesia: Jerat Rokok Elektrik di Media Sosial pada Anak Muda" yang merupakan penelitian pemasaran rokok elektrik di Indonesia pada akhir Maret lalu (30 Maret 2022) cukup menarik perhatian, jika tidak dapat dikatakan mengagetkan. Sebab, selain istilah "vape" yang belakangan ini trend di anak muda, juga istilah "trik" yang bernuansa negatif.

Vape yang digadang-gadang lebih "sehat" dan menjadi pengalih untuk berhenti merokok, justru lebih berbahaya dari rokok konvensional karena adanya bahan kimia berbahaya dan alih-alih menyebabkan berhenti merokok, justru membuat seseorang merokok "ganda". Ya rokok konvensional, ya Vape juga. Riset dari Vital Strategies ini juga memberikan informasi bahwa saat ini, peredaran rokok elektrik melalui promosi di media sosial masih sangat gencar. 

Sehingga, dampak dari promosi ini adalah Indonesia tetap menjadi peringkat pucuk sebagai salah satu negara dengan konsumsi rokok tertinggi di dunia, di mana lebih dari dua pertiga pria dewasa dan 19% anak muda dengan rentang usia 13-15 tahun mengkonsumsi rokok.

Dilarang?

Lalu jika demikian, apakah vape telah dilarang diperjualbelikan sebagai iklan dalam pemasaran online? Jawabannya, Ya dan Tidak. Ada dua regulasi yang dapat membatasi penyebaran iklan rokok elektrik. Pertama dari pemerintah Indonesia. Kedua, dari platform tempat media sosial dimana orang dapat beriklan.  

Dari pemerintah, saat ini belum ada aturan pemerintah yang melarang khusus iklan rokok elektrik di Internet, khususnya di media sosial. Alih-alih melarang konsumsi Vape itu sendiri. Negara-negara lain sudah mulai melarang (ban) impor dan konsumsi produk Vape karena hasil riset sudah menunjukkan tingkat bahaya produk ini.

Tak hanya soal kandungan zat kimianya, namun juga kelistrikannya yang dapat mencederai pengguna. Dobel masalah. India dan China telah melarang, Kamboja dan Thailan sudah melarang impor rokok eletrik.  Masih jauh soal rokok eletrik, bahkan Indonesia satu-satunya negara di Asia yang belum meratifikasi konvensi kerangka kerja pengendalian tembakau (FCTC), dan bergabung dengan hanya tinggal sembilan negara di dunia yang masih "keukeuh" tidak mau meratifikasi konvensi yang membatasi dan mengurangi produksi dan peredaran tembakau. Di negara-negara OKI (Organisasi Konferensi Islam), hanya Indonesia dan Somalia yang tidak meneken ratifikasi.

Sedangkan, dalam beberapa aturan standar komunitas maupun pedoman komunitas sudah banyak platform yang melarang. Nyatanya, menurut penelitian dari Vital Strategies tersebut, justru pada platform populer seperti Instagram dan Facebook (keduanya milik META) merupakan tempat favorit untuk pemasaran rokok elektrik di Indonesia. 

Demikian dijelaskan Enrico Aditjondro, Associate Director Vital Strategies untuk wilayah Asia Tenggara, saat peluncuran hasil pantauan Vital Strategies terhadap pemasaran online Tobacco Enforcement and Reporting Movement (TERM) yang telah mengidentifikasi peningkatan tren pemasaran tembakau secara daring di Indonesia, India dan Meksiko.

Apa yang salah?

Aturan komunitas memang bersifat dinamis. Namun juga memiliki celah. Ada dua asumsi mengenai celah ini. Pertama, memang dibuat "terbuka", dengan tujuan sebagai entitas bisnis, tetap saja media sosial itu adalah tempat yang pas untuk berjual-beli. Sehingga, jika ada aturan berjualan, maka aturan tersebut akan bersifat "karet". 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline