Dalam konsep ketatanegaraan, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia (RI) merupakan dampak dari amandemen UUD 1945, khususnya pada perubahan ketiga, November 2001. Dasar paling kuat dalam pembentukan DPD ini adalah keterwakilan kepentingan-kepentingan daerah. Apalagi, pada masa-masa awal reformasi, tatakelola hubungan antara pusat-daerah sedang pada tahap kritis dan memerlukan reformulasi yang tepat, jika tidak akan menyebabkan hancurnya kesatuan negeri ini.
Dengan adanya lembaga seperti DPD ini, maka akan mengakomodasi aspirasi daerah dan sekaligus memberi peran yang lebih besar kepada daerah dalam proses pengambilan keputusan politik untuk hal-hal yang berkaitan langsung dengan kepentingan daerah. Bukan hal yang baru, memang, namun Utusan Daerah dalam Majelis Permusyarawaran Rakyat (MPR) dianggap tak memadai dalam mengadapi berbagai dinamika politik ekonomi kebangsaan yang baru. Kajian pembentukan DPD menjadi hal yang memerlukan proses panjang, namun diharapkan berhasil guna dan berdaya guna, sesuai tujuan pembentukan dan filosofinya.
Alhasil, kini, sudah tak ada lagi lembaga tertinggi negara. MPR, menjadi joint session manakala DPD dan DPR bersatu padu membahas persoalan negeri untuk dituntaskan dan menjadi kesatuan dalam relasinya kepada Presiden dan Kabinetnya yang sering kita sebut “pemerintah” dalam arti sempit.
DPD menjadi lembaga yang diharapkan dapat menjadi jembatan dan menjembatani (bridging) kepentingan pusat dengan daerah. Aspirasi masyarakat daerah diharapkan dapat lebih mudah terserap, lebih “netral” dari kontaminasi partai dan konstituennya yang mungkin rentan penyalahgunaan. Diharapkan dalam proses kebijakan dan pengambilan keputusan di tingkat nasional, DPD menjadi kekuatan penyeimbang yang menjadi kekuatan check and balances sehingga kinerja parlemen dapat optimal, efektif dan efisien.
Panca Indera DPD Dibangun
Soal DPD, saya mengibaratkan lembaga ini sedang membangun tubuh dan memasang panca indera. Di awal, Ia masih embrio yang kadang dianggap remeh akibat lemahnya kewenangan. Setidaknya, kegeraman anggota DPD periode lampau tersirat maupun tersurat dalam penelitian saya di awal DPD di Indonesia, dengan beberapa anggota yang secara tegas ingin kewenangan yang lebih baik dari sekedar pemanis, dan juga ketegasan dengan cara membubarkan apabila tidak ada harapan dari adanya DPD ini.[1]
Panca Indera merupakan kelengkapan yang membuat manusia dapat lebih maksimal dalam menjalankan aktivitasnya. Alat sensor yang merasakan interaksi dengan lingkungan. Berasal dari bahasa Sansekerta, Indera dalam bahasa Inggris “Senses”. Mata. Sebagai indera penglihatan. Telinga. Sebagai indera pendengaran. Hidung. Sebagai indera pembau/penciuman. Lidah. Sebagai indera pengecap dan Kulit. Sebagai indera peraba. Kelima Indera ini (panca) akan lengkap pula dengan “sixth sense” alias Indera Keenam yaitu hati dan pikiran. Yang mampu merasakan hal yang “kasat” inderawi.
Sebagai organisasi dengan sudut pandang “organisme” maka diawal, DPD mulai beraksi dengan Mata, sebagai indera penglihatan, melihat langsung apa yang terjadi di daerah. Dengan Telinga, sebagai indera pendengaran, mendengar langsung aspirasi daerah. Dengan lidah sebagai indera pengecap dan bersuara, mulut, berbicara langsung dengan masyarakat daerah, berdialog.
Dengan kulit, sebagai indera peraba, jemari merasakan dan meraba. Apa permasalahan daerah yang sebenarnya terjadi, jangan sampai salah “isu” dan kebijakan tak tepat sasaran. Lalu, dengan Hidung sebagai indera pembau/penciuman, mencium hal berbagai hal di daerah. Aroma korupsi, permainan komoditi di daerah yang menguntungkan pihak tertentu dan merugikan rakyat banyak.
Panca Indera Berperan dalam Legacy Kiprah DPD