Lihat ke Halaman Asli

Biologi Sosial (Sociobiology) Vs Darwinisme (Darwinism)

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dua penafsiran terhadap teori evolusi Darwin bertengkar sengit mengenai panggung Seleksi Alam. Perdebatan ini memang hanya satu dari sekian banyak perdebatan tentang mekanisme Seleksi Alam, namun tidak ada yang lebih dalam konsekuensinya daripada perseteruan Darwinisme melawan biologi sosial (sociobiology). Darwinisme ortodoks, yang setia pada pendapat Darwin paling awal, menyatakan bahwa Seleksi Alam terjadi pada jenjang individu dan berlangsung lambat-laun sebagai akibat tidak langsung perubahan dan persaingan mutasi di aras genetik. Biologi sosial menolak gagasan itu. Mereka berpendapat bahwa Seleksi Alam bertarung di jenjang kelompok sosial. Kelompok sosial terdiri atas individu yang mewarisi kepentingan genetik dan sosial yang bertarung memenangkan Seleksi Alam. Kelompok sosial tersusun atas individu. Individu tersusun atas materi genetik yang mengarahkan secara langsung perilaku individu. Karena individu bagian masyarakat, maka gen berpengaruh pulalah  pada kelompok sosial itu. Biasanya perdebatan ilmiah terjadi pada forum ilmiah dan dilangsungkan dengan saling unjuk hasil penelitian. Namun perseteruan dua kubu ini meluas dan memanas sampai di luar forum ilmiah sehingga lantas sarat emosi. Penggagas biologi sosial ialah Edward O. Wilson. Ia ilmuwan di Universitas Harvard. Gagasan biologi sosial dikumandangkan lewat buku Sociobiology: The New Synthesis yang terbit pada 1975. Dalam buku ini ia berpendapat bahwa perilaku sosial hanya bisa dipahami dengan menarik hubungan sebab-akibat langsung dengan gen. Secara analogi, kubu biologi sosial memandang hubungan gen seperti tali kekang kuda dengan kusir. Sejumlah ilmuwan menganggap biologi sosial adalah perpanjangan darwinisme sosial. Darwinisme sosial punya reputasi buruk karena membela rasialisme dan menganggap hirarki sosial benar-benar ada akibat faktor keturunan. Bagi biolog sosial, ada ras unggul dan pecundang. Ada juga orang yang lahir sampai mati khusus untuk jadi korban dan sebaliknya ada yang terlahir sebagai penguasa. Harold Bloom dalam Lucifer Principle memaparkan dengan bersemangat bagaimana proses-proses sejarah manusia—peperangan, agama, etnisitas—bisa disebabkan oleh faktor genetik. Darwinis yang secara terbuka memerangi biologi sosial adalah Stephen Jay Gould, Richard Lewontin, dan Daniel Dennet. Dennet dalam buku Darwin’s Dangerous Idea: Evolution and The Meaning of Life, memaki gagasan biologi sosial sebagai bualan ngawur ketika diterapkan pada manusia. “Kita memang berasal dari ikan, tapi bukan berarti perilaku kita bisa disamakan dengan ikan”, tulis Dennet dalam buku ini. Pada manusia, evolusi sudah sedemikian rumit sehingga memungkinkan kehadiran otak serumit yang dimiliki manusia. Otak yang sedemikian kompleks punya kemampuan membuat keputusan yang bertanggungjawab. Manusia bertindak—apalagi yang berdampak sosial—terutama karena telah melewati pertimbangan di otak. Sejauh ini tidak ada bukti gen mempengaruhi langsung keputusan-keputusan sosial. Banyak rujukan yang memakai pendapat Richard Dawkins (termasuk Wilson) dalam The Selfish Gene (1976), sebagai landasan biologi sosial. Tapi setelah menyimak dengan hati-hati buku itu, rujukan itu meleset. Dawkins berpendapat bahwa panggung Seleksi Alam ada di tingkat gen, bukan individu apalagi sosial. Pada satu masa, memang kebudayaan adalah perpanjangan langsung gen (extended phenotype). Kepingan penyusun kebudayaan itu dinamakan oleh Dawkins meme. Meme lantas berevolusi seperti gen, tanpa maksud, tanpa tujuan, melulu memperbanyak diri. Kalau perlu meme akan membuat individu menderita, demi upaya memperbanyak diri. Dawkins memberi banyak contoh sarang burung untuk memberi ilustrasi bagaimana gen dan meme saling terkait. Pembuatan sarang burung terutama melindungi telur dan anak burung, dan samasekali bukan untuk kenyamanan induk. Ia memberi contoh bagaimana susah-payah dan derita induk selama mengerami dan membesarkan anak. Kebudayaan, sebagai perluasan fenotip, lahir pada awalnya melulu untuk kemaslahatan gen dan samasekali tidak untuk kejayaan individu apalagi kelompok sosial. Kebetulan, dua dari kubu anti-biologi sosial—Lewontin dan Gould—adalah penulis sains populer yang kondang. Mereka memperluas medan perang ini ke tingkat publik. Meski kedua ilmuwan dan Wilson bekerja di universitas yang sama, bahkan di gedung yang sama, silang-pendapat dilakukan lewat media massa. Apabila mau, bisa saja Gould dan Lewontin turun ke lantai tempat Wilson berkantor dan membahas perdebatan pendapat mereka secara tertutup. Gould sangat sadar bahwa dampak biologi sosial sangat luas. Ia ingin masyarakat menyadari dampak itu dan ikut serta dengan pemahaman yang jernih mengenai duduk-perkara ini. Gould sengaja menulis buku yang bagus, Mismeasure of Man untuk menghantam Wilson dkk. Tapi rupanya tidak cukup. Gould juga memperluas perang dengan menyerang biologi sosial lewat media elektronik dan cetak. Dampak kampanye Gould segera terasa. Dalam satu seminar, Wilson pernah dilempari telur busuk oleh demonstran yang marah dan mengumpat “enyahlah kau rasis!”. Perang antara Darwinisme melawan biologi sosial memang belum berhenti. Tapi bagi ilmu-ilmu sosial, biologi sosial menyediakan sarana analisis bergengsi yang mendudukkan ilmu sosial sejajar Sains—kendati bagi ilmuwan biologi dianggap sebagai ilmu yang ngawur. Dalam sejarah Indonesia pernah terjadi peristiwa agung yang membantah biologi sosial. Pada 28 Oktober 1928, perwakilan etnik se-Hindia Belanda sepakat menghimpun diri dalam satu satu tanahair, satu bangsa, dan satu bahasa. Bahkan etnik mayoritas di Hindia-Belanda, yakni Jawa tidak ngotot menjadi mayoritas dalam kesepakatan ini. Bahasa persatuan adalah Melayu, alih-alih Jawa. Masing-masing etnik tidak berjuang memisahkan, malah menyatu. Peristiwa ini sudah cukup untuk menyangkal kesahihan biologi sosial lewat fakta sejarah kebangsaan Indonesia, terlebih lagi Sumpah Pemuda terjadi di masa darwinisme sosial (leluhur ide biologi sosial) sedang jaya-jayanya di Eropa dan Amerika Serikat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline