Lihat ke Halaman Asli

Sains: dari Fiksi ke Non-Fiksi

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Pada awal mula, sains tak lebih dari sekedar spekulasi untuk menjawab misteri kehidupan. Manusia mencoba mengerti lingkungan dengan memanfaatkan daya imajinasi tanpa punya metode penguji.

Semua imajinasi diwariskan lewat dongeng, mitos, legenda, dan tahyul lalu diteruskan dari generasi ke generasi. Memasuki abad ke-16, sains menemukan metode kuantitatif yang mampu menguji dan memilah mitos dan tahyul dari fakta.

Satu per satu mitos dan tahyul berguguran melalui pengujian empirik sehingga memberi ruang bagi teori-teori sains mutakhir untuk mengubah peradaban manusia secara mendasar. Sampai awal abad ke-21, metode pengujian kuantitatif yang menjadi tulang punggung sains seolah mati daya. Para ilmuwan mengembangkan teori-teori baru yang tidak memberi kesempatan pada ilmuwan lain untuk menguji secara empirik.

berangkat sebagai fiksi…
Archimedes sudah menemukan perbedaan berat jenis dan memerikan kisaran pi antara   3 10/71 sampai  3 1/7. Phytagoras sudah merumuskan jumlah kuadrat sisi siku setara sisi miring. Aristharchus sudah menyodorkan paradigma heliosentris sekitar 250 SM.

Satu millenium yang silam, para ilmuwan Cina sudah memperkenalkan seismograf, kompas, dan roket? Mengapa baru pada abad ke-17 sains menyumbang peran konkrit dalam kehidupan kita sehari-hari?

Salah satu penjelasan tentang penyebab keanehan itu adalah belum menyatunya matematika dan sains sehingga teori tidak terbuka untuk digugurkan. Dugaan lain adalah pemutlakan kekuasaan agama dan tekanan sosial-budaya terhadap sains.

Segala pengikut hipotesa yang menentang dua kekuasaan itu langsung ditangkap bahkan dihukum mati. Kematian Socrates dan Giordano Bruno merupakan ilustrasi betapa kuat tekanan terhadap sains.

Dalam kondisi demikian gagasan-gagasan tentang potensi sains menyublim sebagai literatur humaniora. Yohanes Kepler menulis novel Somnium, tetapi naskah baru berani diterbitkan pada 1634, 13 tahun setelah dia meninggal.

Selain itu masih ada karya fiksi serupa tentang sains seperti Gilgamesh (Babilonia), mitos DaedalusTrue History buah pena Lucian (160), The New Atlantis karya Francis Bacon (1627), Gulliver's Travels dari Jonathan Swift (1726), dan Frankenstein yang ditulis oleh Marry Shelley (1818).

…menuju non-fiksi
Perkawinan sains dengan matematika terasa benar-benar konkrit sejak Newton memperkenalkan prinsip gerak. Sejak itu matematika pun menyatu dengan sains sebagai metode sekaligus pertanda cerai antara sains dengan agama.

Sains pun mulai bergerak cepat mengubah kebudayaan sehingga muncul istilah revolusi sains. Karl Popper memerikan ciri sains dengan ketentuan suatu teori dianggap sains jika menyediakan ruang untuk diuji secara empirik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline