Lihat ke Halaman Asli

Bapakku, Idolaku Sepanjang Masa

Diperbarui: 26 Juni 2015   11:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1291047300143673895

Sometimes greatest man you ever meet...is the first one [caption id="attachment_77604" align="alignnone" width="362" caption="SSaat perjalanan pulang sehabis saya wisuda. JCC, 10 November 2009"][/caption] Malam ini, entah kenapa saya kangen sekali dengan Bapak di rumah. Sudah hampir 7 bulan saya tidak pulang dan melihat wajah beliau. Bahkan saat beliau sempat sakit agak keras beberapa bulan lalu, saya tidak pulang. Bukan karena tidak ingin, tapi karena memang tidak bisa pulang. Bicara tentang bapak, masih lekat di ingatan saya tentang bapak, bapak terbaik sedunia, idola anak-anaknya. Beliau bukan tipe bapak yang ingat hari ulang tahun anaknya. Bukan seseorang yang menunjukkan kasih sayang dengan sentuhan fisik, pelukan misalnya. Tapi beliau selalu ada saat saya membutuhkan bantuannya. Dari beliau saya banyak belajar tentang segala hal. Beliau selalu berusaha untuk mengerjakan semua sendiri, bapak yang serba bisa. Membetulkan genteng, membuat kolam ikan, mereparasi mobil sampe ndlosor-ndlosor dibawah body mobil, atau apapun selalu dikerjakannya. Prinsip beliau, jangan sia-siakan waktu, carilah kesibukan apa saja. Bapak saya sama seperti bapak kebanyakan. Perokok berat, coffee addict (sering sharing kopi dengan saya), pekerja keras, hobi karaoke dan sering tidur larut malam. Beliau juga sangat suka bercanda dan berpengetahuan luas. Bapak mendidik saya dan adik saya dengan cara yang tegas. Saat kecil, saya sering dipukuli karena terlalu bandel. Saat itu, saya merasa sangat kesal dengan Bapak. Tapi kini saya menyadari, semua itu bentuk kasih sayang beliau pada saya. Saya pernah dilombok, mulut dimasukin cabe rawit yang pedesnya gak ketulungan karena maen jauh banget, saat itu saya kelas 1 SD. Dikurung di kamar mandi. Digebukin pake sendal. Saat SMP, gitar saya yang dibelikan beliau pernah ditendang gara2 saya susah disuruh sholat.Pernah juga saya digebukin habis-habisan sampai Nintendo saya ditaruh di atap. Bukan tanpa alasan tentunya, semua karena saya terlalu bandel.Menginjak usia remaja, saya mulai sering berbeda pendapat dengan beliau. Bahkan pernah hampir berantem. Masa kecil yang saya lalui membuat saya begitu mengidolakan sosok bapak saya. Saat teman2 saya membuat mobil2an dari kayu,  Bapak saya membuatkan mobil kayu yang lebih kokoh dan lebih hebat daripada milik teman saya. Dari beliau saya mendapatkan gitar pertama saya. Belajar bermain gitar dengan beliau. Boleh dibilang beliau cukup jago main gitar. Keren bukan? Tiap hari minggu, saya dan adik saya selalu diajak makan pagi di warung Simpang Tiga atau Gelatik. Bapak tahu benar kalau saya suka otak sapi dan paru (kebo'). Dan yang terbaik di tempat kami ada di warung itu. Mengaji tiap hari (sesuatu yang jarang saya lakukan akhir-akhir ini) dengan disimak tajwidnya oleh beliau. Nonton bola bareng, dan kemudian komentarnya yang khas keluar. Melatih saya main badminton di depan rumah tiap sore hari. Sering juga saya ikut latihan badminton di GOR bareng bapak. Mendengarkan lagu-lagu Bimbo, AKA, dan Koes Plus dirumah. Selera musik saya sebagian besar dipengaruhi oleh beliau. Belajar perkalian bersama. Sampai saya akhirnya jatuh cinta dengan matematika. Beliaulah yang menanamkan bahwa matematika itu sangat penting untuk dipelajari. Melebihi ilmu-ilmu lain. Beliau juga sering bercerita. Ada saja yang diceritakannya kepada saya. Dan saya selalu tertarik dengan ceritanya. Tapi saya paling suka saat beliau bercerita tentang ayah dan ibunya, yaitu nenek dan kakek saya. Dua sosok yang tidak pernah saya kenal secara langsung Bermain Nintendo bareng, game favorit beliau adalah Super Tank. Kalau ibu saya game favoritnya adalah Othello. Ada satu kejadian yang membuat saya menangis karena beliau. Kejadian itu saat saya awal kuliah di Jakarta. Saat itu saya membawa Al-Qur'an milik beliau yang tebal banget. Lengkap sekali tafsirnya. Karena jarang saya baca, jadilah Quran itu tergeletak begitu saja di meja. Sampai suatu hari ketika selesai mengaji, ada sebuah foto terjatuh dari dalam Quran itu. Saat melihat foto itu, saya menangis. Itu adalah foto saya saat umur 3 tahun, digendong oleh bapak di Kebun Binatang Surabaya. Tiba-tiba muncul perasaan bersalah, malu dan sejenisnya. Karena apa? karena saya tidak akan pernah bisa membalas kasih sayangnya kepada saya. Saya belum bisa memberikan apa-apa kepada orang tua. Yang saya lakukan selama ini hanya menghabiskan uangnya dan menyusahkan mereka. Ketika saya wisuda, keluarga saya datang ke Jakarta. Ada perasaan bangga di hati saya saat itu, walaupun saya hanya diwisuda dengan urutan dua ratus sekian. Melihat beliau duduk di kursi para orang tua dengan memakai peci dan baju batik, saya terharu. Saat pulang wisuda, saya berfoto berdua dengan beliau. Kami berpelukan. Sesuatu yang hampir tidak pernah kami lakukan selama saya mulai menginjak remaja Aku ingin berjalan membelikannya rokok lagi ke warung sebelah. Sesuatu yang kulakukan sambil menggerutu, dulu. Aku ingin disuruhnya icak-icak lagi. Sambil menghitung sudah berapa putaran aku berjalan di badannya. Aku ingin makan nasi goreng buatan beliau lagi. Walaupun minyaknya kebanyakan, tapi sangat nendang. Saat kangen beliau seperti sekarang, saya hanya bisa mendengarkan lagu kesukaan beliau saat karaoke. Broery Marantika duet dengan Dewi Yull. Maaf bapak, aku belum bisa menjadi yang terbaik... Pangkalpinang, 29 November 2010

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline