Lihat ke Halaman Asli

Bertengkar Karena Kurang "Itu"

Diperbarui: 25 Juni 2015   03:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Menurut pembaca, apa maksud kalimat (bukan ucapan) ini: ‘(sebelumnya) Saya kira tanggal 23 Sabtu ini, bukan minggu depan.’? Mohon bandingkan dengan kesimpulan setelah mengikuti ceritanya.

Itu adalah bunyi SMS yang menjadi penyebab ‘pertumpahan darah’ antara aku dan temanku. Konteks komunikasinya adalah sebagai berikut:

Anak temannya temanku (anak yang adalah teman sekelas anakku) akan menjalani operasi hari Sabtu tanggal 23 Juni. Pada saat temanku mengabarkannya padaku, dia mengatakan operasinya hari Sabtu ini, yang berarti tanggal 16 Juni (komunikasi SMS ini terjadi di awal minggu ini). Setelah dia menyadari kesalahannya, dia menuliskan “Sori, saya salah dengar. Saya kira minggu ini, ternyata minggu depan.

Kubalas “Ya, anakku memang mengatakan operasinya tanggal 23.”

Balasannya “Betul. Saya kira tanggal 23 Sabtu ini, bukan minggu depan.”

Hm…. tanggal 23 Sabtu ini? Bukankah awalnya dia mengira operasinya Sabtu ini? Itu kan tanggal 16, bukan 23! Ada salah ketik nih. Kubalas dengan diiringi sedikit maksud menggoda “Koreksi: (kalimat kamu mestinya) Saya kira tanggal 16 Sabtu ini :P ”

Balasannya “Sabtu ini memang tanggal 16 :P ” *)

Lho? Sudah tahu tanggal 16, kok masih menulis ‘tanggal 23 Sabtu ini’? Ngeyel, ngeledek atau ngelindur ya ni orang?

Kubalas “Keluar deh ngeyel.com-nya.

Dibalas “Gantian :D ” (Maksudnya “Jangan cuma kamu doang yang ngeledek, sekali-sekali gantian dong.”)

Aku bersikeras dengan ‘kesalahannya’ dan semakin iseng dan terus meledek dia dengan banyak menuliskan blablabla.com dan semakin jauh dari topik pembicaraan. Dia tidak terima. Akhirnya dia menulis “Kenapa sih ngeledek terus?”

Kujelaskan bahwa ada salah ketik pada SMS-nya tadi dan saat aku koreksi, dia malah ‘membantahnya’ sehingga aku jadi terpancing untuk terus meledeknya. Kujelaskan sekali lagi bahwa SMS dia seharusnya berbunyi “Saya kira tanggal 16 Sabtu ini, bukan minggu depan.”

Tulisnya “Kau selalu begitu, berupaya mencari-cari kesalahan orang. Memangnya, apanya sih yang salah? Saya sudah tuliskan tadi, saya kira tanggal 23 itu Sabtu ini.”

Nah, kata bercetak tebal itulah pangkal permasalahannya. Kutulis “Nah, jika kau tadi menulis ‘Saya kira tanggal 23 itu/adalah Sabtu ini’, tidak akan muncul masalah ini.

Dia membalas “Begitu aja dimasalahin! Mentang-mentang lebih pinter, terlalu mencari-cari kesalahan, membesar-besarkan masalah dan menghina.

Lho? Ini bukan tentang masalah lebih pinter, lha jawabannya salah kok! (Atau aku yang salah tapi ngotot! he he he)

Tidak ada SMS balasan dari dia.

‘Pertumpahan darah’ ini mengajariku beberapa hal:

1. Komunikasi tulis beda dengan komunikasi verbal. Komunikasi tulis tidak menunjukkan intonasi sehingga bisa memunculkan kesalahmengertian. Yang terbaik yang dapat dilakukan dalam hal ini adalah menggunakan tanda baca secara efektif. Penerimaanku tentang SMS-nya itu adalah “(sebelumnya) Saya kira (operasinya) tanggal 23 (yang adalah) Sabtu ini.” Kalimat yang – menurutku – jelas mengandung kesalahan (ketik) pada tanggal. Setelah dia jelaskan, aku jadi mengerti bahwa maksudnya adalah “Saya kira/tanggal 23/Sabtu ini.” (Mohon dibaca seolah-olah ada jeda singkat yang diwakilkan oleh tanda ‘/’ dan dengan intonasi pada ‘Sabtu ini’ seperti pada kalimat ‘Saya kira tanggal 23 itu/adalah Sabtu ini’).

2. Konteks amat penting. Jika pada bagian bertanda *), aku ‘mempertimbangkan’ konteks pembicaraan, mungkin aku akan memikirkan ‘kemungkinan lain’ dari kalimat itu, dan sedari awal aku bisa memahami maksudnya. Aku sebut ‘mungkin’ karena aku tetap berpendapat bahwa kalimat ‘Saya kira tanggal 23 Sabtu ini, bukan minggu depan” bagaimanapun juga tidak bermakna sebagaimana dia maksudkan. (maksa.com he he)

3. Ketidakjelasan dan/atau ambiguitas sebaiknya dikomunikasikan – sedari awal lebih baik – untuk menghindari ‘pertumpahan darah’ yang tidak perlu. Bukan malah langsung diserang atau karena dikoreksi langsung nyerang – karena isi kepala orang lain-lain. Sebaiknya kita juga menghindari kalimat yang bisa multitafsir (misalnya tulisan yang dituliskan mentah-mentah layaknya sedang diucapkan). ‘Pertumpahan darah’ itu kan terjadi karena temanku ngotot merasa benar dengan kalimatnya karena dia mengartikannya/menuliskannya sesuai ucapan, sedangkan aku ngotot kalimatnya salah karena berpendapat bahwa untuk bermakna seperti yang dia maksudkan, seharusnya ada kata ‘itu’ atau ‘adalah’ atau keduanya setelah ‘23’.

SMS-SMS selanjutnya keesokan harinya diisi dengan saling menjelaskan dan “Ha ha ha”.

Damai di udara, (semoga juga) damai di bumi. Wkwkwk

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline