Lihat ke Halaman Asli

Jiwaku Perempuan

Diperbarui: 9 Agustus 2017   14:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumentasi pribadi

Kehadiran Prof. Melani Budianta, Ph.D di Kursus Perempuan pada pertemuan ketiga angkatan III yang diselenggarakan oleh Agenda 18, semakin menambah semangat saya pribadi untuk dapat menuangkan ide, kritik, serta petualangan di dunia kata-kata. Kehadiran beliau yang seorang Guru Besar dari Universitas Indonesia juga seolah menghantam pikiran saya yang masih diterpa kurang percaya diri dan penuh keraguan untuk menulis. 

Beliau dengan kesahajaannya bersedia menemani para peserta kursus untuk mulai mengeluarkan kata-kata dari hati, mengekspresikannya melalui lisan dan tulisan. Ucapan terima kasih saya untuk segenap tim Agenda 18, yang telah bersusah-payah menghadirkan Prof. Melani ditengah kesibukan dan jadwal yang sudah pasti padat, apalagi di akhir pekan. Seorang "guru" teladan memang akan selalu menjadi teladan baik lahir maupun batin, perasaan saya yang begitu senang, bahagia, dan juga haru campur menjadi satu. 

Renungan adalah suatu aktifitas favorit saya, dengan harapan agar merenung artinya saya berkesempatan memahami fenomena di sekeliling, lingkungan sosial masyarakat apapun isu atau masalah yang terjadi. Misalnya saja, saat Prof. Melani meminta para peserta untuk menuliskan beberapa hal yang dibentuk dari 3 pertanyaan; pertama, siapakah 3 orang yang paling berpengaruh dalam hidup peserta? 

Saya merenung secara otomatis, mengumpulkan memori sebanyak-banyaknya sehingga dapat memabntu saya untuk menjawab pertanyaan yang cukup mendalam tersebut. Kemudian saya menemukan jawabannya, yakni almarhum Abah saya, ibu, dan juga seorang kawan saya yang sekarang sedang menempuh pendidikan doktoralnya di Universitas Indiana melalui jalur beasiswa dari AMINEF. 

Abah dan ibu saya merupakan tamatan Sekolah Dasar, namun kepedulian pada pendidikan 9 putera-puterinya sangat besar. Memberikan ruang yang sama bagi kami semua untuk dapat mengakses pendidikan yang sama. Dari 9 orang, hanya saya yang dikirim ke Jawa Timur oleh Abah untuk melanjutkan pendidikan ke Pesantren, padahal saya adalah anak perempuan bungsu dalam keluarga. Selama 10 tahun saya belajar jauh dari orang tua dan keluarga membuat saya menemukan jati diri yang sekarang. 

Awal kali saya akan dikirim ke Pesantren, saya hanya punya satu pedoman, yaitu ridho dari Abah dan Ibu. Dari semua hal, ridho orang tua yang selalu menjadi pegangan saya sejak itu sampai detik ini. Namanya Andi Herawati, kami bertemu pada tahun 2009 di kampus ICAS (Islamic College for Advanced Studies) ICAS yang bekerjasama dengan Universitas Paramadina untuk program S2 jurusan Falsafah Agama. 

Konsentrasi yang kami ambil adalah Tasawuf, sejak itu kami berkawan akrab meskipun usia kami terpaut 7 tahun. Saya memanggilnya Kak Hera, sama dengan nama salah satu kakak perempuan saya. Pribadi yang supel, tangguh, semangat, berdedikasi tinggi, cerdas, baik hati, dan inspiratif. Mengapa saya memilihnya diantara mereka yang paling menginspirasi? Karena Kak Hera merupakan "role model" bagi saya dalam dunia intelektual. 

Kak Hera mampu "menekuk" lawan dengan argumentasi-argumentasi rasional dan 'irfani saat berdiskusi dengan siapa saja. Kak Hera meminta saya juga untuk belajar bahasa Arab dengan kitab tertentu, disamping itu ia juga terlihat belajar bahasa Persia. Hubungan kami memang sudah seperti kakak dan adik, karena sudah banyak pengalaman dan momen yang kami lalui bersama. Yang menarik adalah saat pengajuan beasiswanya melalui LPDP ditolak oleh penguji, tapi kemudian ia pantang menyerah dan mengajukan lagi ke Fulbright - AMINEF dan DITERIMA! Momen inilah yang membuat saya tak berhenti terkagum-kagum padanya. 

Saat saya tanya mengapa bisa demikian, dia hanya menjawab: sungguh Tuhan punya rencana lain! Penguji LPDP menganggap porposal doktoral yang diajukan tidak sesuai dengan "alam masyarakat Indonesia", dan mereka sangsi bahwa Kak Hera akan menjadi figur yang berbahaya lantaran ingin meneliti Sufi (modern) Perempuan di Amerika Serikat. Sungguh, mereka mengalami kejumudan! --- kami berdua tertawa terkekeh, bahwa sekelas doktor penguji masih mengalami fase paranoid terhadap suatu tradisi yang sama sekali belum mereka pelajari dan alami. 

Sekarang saya disini, menata lagi dan merencanakan hal-hal yang ingin saya capai di kemudian hari. Bagi saya, menulis adalah salah satu kegiatan rutin sejak SD, hanya sekedar curahan hati berupa pengalaman atau kejadian sehari-hari, perasaan senang atau sedih dan lain-lain. Hobi tersebut bahkan berlanjut saat memasuki dunia pesantren, mulai mengirimkan hasil karya foto dengan memberi caption di harian Nasional Republika, tayangnya 3 bulan kemudian. 

Namun pengalaman tersebut membuat saya menjadi nyaman tentang eksistensi diri yang sebenarnya, sesuai minat dan juga motivasi untuk memberi kontribusi nyata di bidang yang saya tekuni. Tahun-tahun berlalu, sampai saya mulai melirik kemunculan media sosial bernama Friendster, Blog, Facebook, Flickr, dan Kompasiana. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline