Lihat ke Halaman Asli

Lucunya Gaya Berkendara di Jakarta

Diperbarui: 25 Agustus 2016   15:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi photo: Kompas.com

Sepanjang perjalanan menuju ke tempat kerja mata saya sibuk mengamati berbagai macam gaya orang-orang berkendara; di sebelah depan, samping, bahkan belakang yang terlihat melalui kaca spion. Minggu ini adalah minggu kedua saya berkendara motor untuk berangkat dan pulang kerja, dikarenakan ongkos untuk ojek online yang naik signifikan, akhirnya membuat saya menyerah! Saya juga cemas karena khawatir tidak bisa menabung. Walhasil, dua abang saya berkoalisi untuk membujuk ibu agar mengizinkan saya berkendara sendiri.

Hasil pengamatan saya yaitu, sungguh menggelikan melihat orang-orang yang berkendara di kota tapi tak punya etika sama sekali. Saat saya masih menggunakan ojek online, saya selalu melarang para pengemudi untuk melintasi busway, selain melanggar, melalui jalur transjakarta itu juga menyulitkan tatkala salah satu kendaraan mogok atau terjebak macet, sedangkan separator bus terlampau tinggi untuk dilewati.

Pengguna Jalan itu Seharusnya...

Saya adalah warga asli Jakarta, tapi saya berusaha untuk menjadi warga yang taat dan patuh pada peraturan lalu lintas, tujuan pastinya agar saya tidak merugikan diri sendiri dan pengguna jalan lain, baik yang berkendara ataupun yang berjalan kaki.

Banyak pengalaman buruk saya alami, termasuk saat saya berjalan di trotoar yang jelas sekali dibuat dan dimanfaatkan untuk pejalan kaki. Namun yang terjadi malah sebaliknya, untuk menghindari macet, para pengendara motor menggunakan trotoar yang sama dengan saya. Bukan bermaksud untuk berkata kasar atau tidak sopan, tapi bagaimanapun juga hak pejalan kaki harus diutamakan daripada mereka yang melanggar hanya untuk menghindari macet!

Saya kesal kemudian mengingatkan para pengendara agar turun ke bahu jalan karena trotoar bukan hak mereka, kalau tahu ya turun! Suara saya meninggi, kaki saya pun menjadi korban karena terinjak oleh pengendara. Saya bersama teman-teman sibuk menghalangi jalan mereka karena trotoar yang dilalui begitu panjang.

Sebagai pengguna jalan tentunya kita diharuskan untuk menjamin keselamatan masing-masing, tapai apa guna polantas? yang seringkali saya lihat bertugas tidak pada tempatnya. Warga sipil perlu pendidikan, perhatian, dan keamanan di jalan raya. Lambat laun, prediksi tentang kondisi lalu lintas Jakarta yang akan mengalami "stuck" pasti terjadi, bilamana petugas yang berwenang hanya berdiam diri sambil ngopi di warung dekat pos jaga.

Penggunaan Lampu Sen

Saya tidak ingin seperti ibu-ibu yang dibully karena menggunakan lampu sen yang tidak sesuai dengan arah, sen kanan belok kiri dan sen kiri belok kanan. Masih dalam pengamatan, kebanyakan para pengendara menggunakan lampu sen juga tidak menghitung jarak yang akan dilalui, seperti menyalakan lampu sen 2 - 1 meter sebelum belok kanan – kiri atau untuk menyalip kendaraan di depannya, jarak tersebut untuk apa? Saya pikir hal itu tidak baik dijadikan kebiasaan, karena dapat membahayakan pengendara dibelakangnya.

Tidak ingin mengikuti hal-hal yang membahayakan, akhirnya saya harus membuat budaya sendiri, seperti menyalakan lampu sen bahkan dari radius 15 – 30 meter sebelum belok kanan – kiri, karena saya ingin menunjukkan kepada pengendara di belakang sana agar berhati-hati. Mungkin dengan begitu, mereka yang belum berdisiplin bisa mengikuti budaya yang saya ciptakan.

Lampu Merah, Kuning dan Hijau

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline