Lihat ke Halaman Asli

Jangan Takut Salah, "Just Speak Up!"

Diperbarui: 30 Juli 2016   10:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya bersama Ibu Attu, salah satu partner saya dalam berbahasa Inggris di tempat kami bekerja. Photo: Dok. Pribadi.

Judul diatas setidaknya mendeskripsikan pengalaman saya dalam belajar bahasa asing, khususnya Bahasa Inggris. Sekitar tahun 1996/1997 saat saya duduk di bangku Madrasah Tsanawiyah (setingkat SMP), bidang studi Bahasa Inggris diajarkan di sekolah. Guru yang mengajarkan Bahasa Inggris bernama Pak Sofyan Tsauri, sosoknya berperawakan tinggi - kurus, berkacamata minus, dan berambut ikal.

Namun, karena Bahasa Inggris adalah subjek yang cukup sulit buat saya pahami, ditambah lagi dengan metode mengajar yang sangat cepat, membuat nilai bahasa Inggris saya hanya berhenti pada angka 6 di buku raport kelas 1. Pun berlanjut di kelas 2, saya semakin tidak bersemangat untuk belajar Bahasa Inggris, bahkan saya juga menjadi tidak senang dengan metode yang pakai Pak Sofyan. Lagi-lagi, diakhir kenaikan kelas 2 ke kelas 3, saya hanya mampu mendapatkan nilai 6. Saya hampir putus asa dan menganggap Bahasa Inggris sangat tidak penting!

Saya merasa kesal, marah, dan khawatir kalau saya sama sekali tidak bisa belajar Bahasa Inggris dengan baik di kelas 3. Akhirnya, Allah mendengar jeritan hati ini, Pak Sofyan tidak lagi mengajar kelas 3. Seorang guru perempuan bernama Bu Zainah yang akan mengajar kami. Metode yang diajarkan jelas sangat berbeda dari yang saya dapatkan sebelumnya.

Bu Zainah lebih banyak memberikan kesempatan bagi semua siswa/i untuk mengeksplorasi lebih jauh kemampuan kami, mulai dari perbendaharaan kosakata sampai pada latihan essay. Bu Zainah tipikal guru yang ramah dan sangat membantu, meskipun dirinya sangat tegas. 

Pernah suatu kali diadakan ulangan harian, ada beberapa siswa/i yang ketahuan mencontek dengan lipatan kertas yang diletakkan di laci, seketika itu juga kertas ulangan mereka disita bu Zainah. Lambat tapi pasti, saya merasa simpatik dengan sosok Bu Zainah yang mampu mengubah persepsi saya tentang Bahasa Inggris yang sulit menjadi salah satu mata pelajaran favorit. Walhasil sejak saat itu, saya merasa kemampuan Bahasa Inggris saya setara dengan teman-teman seperjuangan.

Waktu berlalu dan sudah saatnya kami pergi dari almamater tercinta madrasah Tsanawiyah Al-Falah yang berlokasi di Grogol Utara, Jakarta Selatan, untuk melanjutkan studi. Saya memutuskan untuk melanjutkan impian saya supaya bisa belajar di Sekolah Kejuruan jurusan tata busana, tapi karena Abah sudah mempunyai pilihan sekolah lain, saya pun manut saja asalkan Orangtua merestui InsyaAllah semuanya menjadi yang terbaik, begitu batin saya.

Saya dikirim ke sebuah pondok pesantren di Kota Ngawi, Jawa Timur. Ternyata Pondok Pesantren tidak seperti yang ada dalam bayangan saya. Pondok ini memiliki sistem pendidikan yang modern, oleh karena itu Pondok Pesantren disebut oleh masyarakat sebagai Pondok Modern karena sistemnya. Di tempat belajar yang baru, saya kembali bertemu dengan pelajaran Bahasa Inggris dan tentunya Bahasa Arab.

Peraturan yang tidak pernah dituliskan, tetapi telah bergaung ke seluruh telinga para santri adalah bicaralah bahasa Arab dan Inggris meskipun salah!– Para santri disugesti untuk berani berbicara asing, kesalahan dianggap wajar dan manusiawi dalam belajar. Saya pun merasakan dampaknya yang luar biasa, saya berlatih berbicara bahasa Arab dan bahasa Inggris pada jadwal yang sudah ditentukan oleh lembaga bahasa Santri. 

Ya, lembaga bahasa santri menyusun jadwal berbahasa yang harus dipatuhi dan diikuti oleh para santri serta guru-guru hingga Kyai. Pada masa itu, dalam satu bulan terbagi menjadi dua waktu: dua minggu pertama para santri diwajibkan berbahasa Arab, dan dua minggu berikutnya berbahasa Inggris. Jangan harap kita akan mendengar Bahasa Indonesia ataupun bahasa daerah dari seluruh pelosok nusantara, karena hal tersebut termasuk pelanggaran yang sangat berat.

Untuk santri baru, diberikan masa trial selama 6 bulan, artinya masih dimaklumi jika ada percampuran bahasa dalam pengucapan (bahasa daerah, Indonesia, Arab, serta Inggris). Namun hal ini tidak berlaku bagi santri yang sudah memasuki tahun pertama, kedua, dan seterusnya. 

1 x 24 jam selama dua minggu kami diwajibkan untuk berdisiplin berbahasa Arab dan Inggris, entah saat berada di masjid, kamar, kelas, kamar mandi, dapur, ataupun di jalan-jalan sekitar asrama. Bagi yang ketahuan melanggar, siap-siap hukuman akan menunggu di mahkamah bahasa (sebutan untuk tempat persidangan bagi pelanggar bahasa).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline