dok.pri || wajah Talaga tampak dari depan
Suatu sore sepulang bekerja, saya dan seorang sahabat sedang berada di sebuah mall di bilangan Jakarta Selatan, lokasinya dekat dari Rumah Sakit Fatmawati. Saat itu, kami berdua kompak sedang lapar dan memutuskan untuk mencari tempat makan. Kami berdua sedikit bingung untuk menentukan tempat, karena saya merasa yang selalu memilih, jadi saya persilahkan sahabat saya itu untuk memilih. Ternyata, baginya pun sama aja, akhirnya pilihan jatuh pada Talaga, tempat yang seringkali kami singgahi.
dok.pri || Suasana Talaga di lantai dasar
Letaknya yang paling pinggir dari gerai-gerai yang lain, dan interior yang khas menjadikan Talaga sebagai salah satu tempat favorit saya pada akhirnya. Sahabat saya tersenyum penuh arti, karena dia tahu betul saya telah jatuh cinta pada Talaga. Selangkah demi selangkah kami memasuki Talaga dan langsung menaiki anak tangga, ya.. Talaga memiliki konsep desain yang khas, unik, sederhana, dan eye catching.
dok.pri || Tata Ruang Talaga diambil dari lantai 2
Beberapa kali singgah di Talaga, baru kali ini saya sempatkan menulis tentangnya, tapi yang disayangkan juga saya masih belum tahu apa makna Talaga itu? Apakah sama dengan telaga (baca: danau)? Apalah arti sebuah nama jika perut kami terus merongrong dan merajuk agar kami cepat masuk dan duduk manis. Kami berdua bergegas menaiki anak-anak tangga yang terbuat dari besi, tepat sebelum anak tangga juga terdapat westafel, para pengunjung bisa mencuci tangan dengan sabun cair dan mengeringkan tangan dengan lap yang telah disediakan.
dok.pri || Tangga Besi sebagai penghubung lantai dasar dan lantai 2
Menarik sekali!
Seperti biasanya, kami selalu memilih meja tengah, tidak dipojok atau dipinggir, entah setiap kali ke Talaga, suasana sangat terasa akrab, rumahan, dan tempat untuk senda gurau, ditambah lagi dengan musik yang diperdengarkan dari lantai bawah. Salah seorang pramusaji terlihat menaiki anak tangga, dengan senyum ramah membawakan kami daftar menu dan dengan sabar pula ia menjawab setiap menu yang belum familiar menurut kami. Jadilah hari itu kami memesan ayam bejeg dan nasi goreng udang, dengan minuman es cincau dan kopi tarik kegemaran saya.
Setelah pesanan tercatat, sang pramusaji menuruni anak tangga untuk selanjutnya menyiapkan pesanan kami, namun belum lama waktu berselang, pramusaji kembali ke meja kami sambil mengantarkan sepiring mini kerupuk sebagai menu pembuka khas Talaga, ia juga menyampaikan bahwa nasi goreng udang pesanan saya sudah habis alias tidak ada. Ya sudahlah, saya harus mencari menu yang lain, mata saya tertuju pada lele bejeg, entah seperti apa rupanya, mungkin tak jauh beda dengan lele penyet. Sambil menunggu, kami saling bercerita tentang pengalaman kami melalui hari itu, penuh dengan tugas dan deadline, kami tertawa bahagia seperti kami menemukan tempat makan yang tepat sore itu.
dok.pri || Dekorasi Dinding berupa sejarah tentang asal mula Talaga