Lihat ke Halaman Asli

“Habitus” Say Batang

Diperbarui: 24 Juni 2015   15:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Rabu, tanggal 30 September tahun 2009 sekitar pukul 17.16. WIB. gempa berkekuatan 7,9 scala richter melanda wilayah Padang, Sumatera Barat.

Menurut laporan tim Satuan Kerja Penanggulangan Bencana Kabupaten Agam tercatat ada 86 orang meninggal, 90 orang luka berat dan 47 orang luka ringan. Sedangkan korban materi berupa hunian milik warga ada 11.173 rumah rusak berat, 58.886 rumah rusak sedang dan 6.085 rumah rusak ringan. Dari 16 kecamatan diKabupaten Agam, Padang, Sumatera Barat, Kecamatan Malalak tercatat dalam lima wilayah kecamatan terparah. Di bagian wilayah dataran tinggi kecamatan Malalak ,kondisi tanahnya tersusun oleh tuf batu apung hasil letusan gunung api yang bersifat urai, labil dan tidak kompak. Tanah dengan kondisi seperti ini dapat memperbesar goncangan gempa bumi, imbuhmya. Mengingat bahaya yang dapat timbul maka Satuan Kerja Penanggulangan Bencana Kabupaten Agam, merekomendasikan agar warga yang ada di wilayah rawan longsor susulan untuk direlokasi. Untuk sementara110 kepala keluarga wilayah Kecamatan Malalak diungsikan dicamp-camp yang disediakan. Camp Sungai Batang atau biasa masyarakat sekitar menyebut Camp Say Batang adalah prioritas tempat untuk mengungsi para survivor gempa dari wilayah Malalak. Mayoritas masyarakat Malalak sebelum terjadi gempa, untuk memenuhi kebutuhan akan air bersih sehari-hari utamanya masyarakat Malalak yang berada diwilayah atas,mereka menggunakan air hujan yang ditampung di bak-bak yang terbuat dari semen. Di wilayah Malalak atas juga terdapat beberapa mata air dan sungai, akan tetapi karena jaraknya jauh, sekitar 700 meter dari wilayah pemukiman maka hanya digunakan jika musim kemarau saja. Untuk masyarakat Malalak bawah atau yang berada disekitar pinggiran danau Maninjau, selain menggunakan air dari sumur, ada juga yang memanfaatkan air danau dan air sungai untuk memenuhi kebutuhan akan air bersih. Dua wilayah dengan kondisi geografis yang berbeda ini,masing-masing mempunyai cara tersendiri dalam memenuhi kebutuhan akan air bersih guna menunjang kehidupan sehari-hari, namun kedua wilayah ini sebagianmasyarakatnya mempunyai kebiasaan yang sama yaitu dalam hal Buang Air Besar. Dengan berbagai macam alasan, mereka melaksanakan aktifitas BAB di alam terbuka. Wilayah sulit air atau wilayah yang berlimpah air , bukan alasan bagi masyarakat untuk tidak membangun prasarana MCK. Masyarakat di sini hanya mempunyai kebiasaan melakukan aktifitasBAB di sungai, di kolam ikan atau di kebun rumahnya. Orang dewasa biasanya jika melakukan kegiatan BAB dikebun pada saat langit masih gelap.

Malalak hanya sebagian kecil dari negeri Indonesia ini, Departemen Kesehatan Republik Indonesia dalam penyusunan Profil Kesehatan Indonesia 2008 yang diketuai dr. Untung Suseno S,MKes selaku Kepala Pusat Data dan Informasi Dep.Kes RI telah melakukan survey dalam kegiatan RisKesDas tahun 2007 dan hasilnya menyebutkan, persentase rumah tangga yang memenuhi kriteria Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dengan kategori baik secara nasional sebesar 38,7%. Provinsi yang memiliki persentase di atas 38,7% ada 5 provinsi yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta 58,2%, Bali 51,7%, Kalimantan Timur 49.8%, Jawa Tengah 47% dan Sulawesi Utara sebanyak 46,9%. Adapun provinsi dengan HPBS terendah adalah Papua 24,4%, Nusa Tenggara Timur 26,8%, Gorontalo 27,8%, Riau 28,1% dan Sumatera Barat sebanya 28, 2%. Ada 28,2 % warga masyarakat Propinsi Sumatera Barat masih kurang kesadaran berperilaku hidup bersih dan sehat. Angka ini menduduki urutan tertinggi secara nasional. Adapun yang dimaksud dengan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) menurut kegiatan ini antara lain, jika buang air besar di jambanserta mencuci tangan yang benar. Cuci tangan secara benar yang dimaksud di sini jika mencuci tangan dengan menggunakan sabun, yang dilakukan sebelum makan, setelah buang air besar, setelah menceboki bayi/anak serta setelah memegang unggas. Bapak Nugroho Tri Utomo Direktur Pemukiman dan Perumahan Bappenas, Februari 2011 dalam bukunya Stop Buang Air Besar Sembarangan menyatakan, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 menunjukkan bahwa 24,8% rumahtangga tidak menggunakan fasilitas Buang Air Besar, angka ini meliputi Kota dan di Desa. Penegasannya masih ada 70 Juta penduduk Indonesia yang Buang Air Besar Sembarangan dengan jumlah terbesar berada di pedesaan.Kabar lain dari VIVAnews menuliskan bahwa UNICEF, badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk perlindungan anak, melansir hasil survei menemukan Indonesia bersama India dan China adalah juara-juara dunia untuk buang air besar di tempat terbuka. Total, menurut data UNICEF/WHO pada 2010, 1,1 miliar orang di dunia masih buang air besar di alam terbuka. Tujuh negara yang masyarakatnya masih melakukan BAB di alam terbuka yakni India, China, Indonesia, Ethiopia, Pakistan, Nigeria, Sudan, Nepal, Brazil, Niger dan Bangladesh.

Perilaku yang dilakukan secara terus menerus ini akhirnya menjadi kebiasaan bahkan menjadi budaya yang lumrah dilakukan oleh masyarakat, tidak memandang jenis kelamin dan usia. Apa yang tejadi jika sudah menjadi kebiasaan? Pastinya akan selalu dilakukan dengan senang hati tanpa pertimbangan dan beban apapun bahkan dimanapun dan kadang dalam kondisi apapun. Mungkin akan tidak begitu berdampak jika buang air besar di alam terbuka dilakuakan di kebun yang luasnya dengan hitungan Hektar. Masih ingat sekitar tahun 60-70an anak-anak di Jawa terbiasa menyanyikan lagu yang syairnya “ayo ngising, ayo ngising, neng kebon, neng kebon, tutupi godong pring, tutupi godong pring, men garing, men garing” lagu yang biasanya dilagukan hanya untuk “lelucon” atau lucu-lucuan itu jika diartikan dalam bahasa Indonesia “Mari buang air besar, mari buang air besar, di kebun, di kebun, ditutupi daun bambu, ditutupi daun bambu, biar kering, biar kering”entah siapa yang menciptakan lagu tersebut, tetapi yang pasti syair itu terinspirasi dari melihat kebiasaan aktifitas buang air besar di alam terbuka yang dilakukan oleh lingkungan sosial yang waktu itu mayoritas masyarakatnya masih memiliki lahan luas, walau termasuk dalam kesadaran hidup dengan perilaku hidup bersih dan sehatnya masih rendah, waktu itu, dampaknya tidak terasa oleh masyarakat sekitar. Akan tetapi bagaimana jika perilaku buang air besar di alam terbuka itu dilakukan diwilayah perkotaan yang rumah dan penduduknya padat seperti kondisi sekarang ini? Atau dalam situasi masyarakatnya terpaksa harus berdempetan hidup di camp pengungsian? Kita bisa belajar di camp Say Batang,akibat gempa 30 September 2009 yang lalu. Dengan terpaksa masyarakat harus hidup berdempetan di camp tersebut. Dengan masih membawa kebiasaan buang air besar di alam terbuka , fasilitas mandi dan jamban yang disediakan akhirnya tidak digunakan dengan baik. Alhasil, Camp yang didirikan di wilayah yang dikelilingi oleh pepohonan rindang dengan pemandangan danau Maninjau yang menjadi kebanggaan masyarakat Sumatera Barat bahkan seluruh warga Indonesia itu beraroma tidak sedap. Bau kotoran manusia yang memuai akibat terkena sinar matahari membuat masker penutup hidung tidak berfungsi. Untuk menghilangkan bau dan antisipasi timbulnya penyakit pengurus camp waktu itu berupaya meminta pengungsi gotong royong setiap pagi untuk menimbun tinja-tinja dengan pasir atau tanah. Akan tetapi upayaitu kurang berhasil dengan baik karena hujan turun setiap hari sehingga air hujan membuka kembali sebagian timbunan kotoran-kotoran manusia yang berserakan diantara tenda-tenda sekitar Camp say Batang,Bau kotoran manusia yang mampu menaikkan asam lambungmengundang lalat-lalat berdatangan. Lalat-lalat yang berpesta pora bukan hanya mengerumuni kotoran yang berserakan saja, akan tetapi meloncat kemakanan pindah keminuman beralih ke alat makan dan alat minum, bahkan nempel diluka pada tubuhpengungsi yang tidak tertutup dengan baik sampai mengerumuni pengungsi yang sedang tertidur.Akibatnya menurut petugas dari dinas kesehatan yang berjaga di Camp Say Batang, banyak anak-anak dan bayi yang terserang penyakit diare, kulit gatal-gatal sampai ispa.

Akibat dari perilaku hidup tidak bersih dan tidak sehat, jika tetap dilakukan dalam situasi terpaksa harus hidup berdempetan di pengungsian pasti akan berdampak memperburuk keadaan. Memang tidak semudah membalikkan tangan untuk mengajak masyarakat berperilaku hidup bersih dan sehat, namun kita bisa belajar semangat dari Drg, P Agustine Siahaan, Mkes yang secara Fenomenal pada tahun 2008 berhasil membawa Kecamatan Lembak Muara Enim di wilayah Puskesmas yang dipimpinnya, meliputi 18 desa sukses mencapai Kecamatan Stop Buang Air Besar Sembarangan (ODF) yang pertama di Indonesia. Mengingat Negara Indonesia yang kondisi alam serta sosialnya berpotensi besar terjadibencana, semua insan yang ada diatasnya harus menyatukan semangat untuk memperingan kinerja penanggulangan bencana, support dari semua pihak baik pimpinan pusat, pimpinan daerah sampai struktur terbawah , lembaga swasta dan tentu saja masyarakat sendiri harus berperan besar dan mau mengubah perilaku agar kebiasaan yang tidak menguntungkan dalam hal ini yaitu Buang Air Besar Sembarangan ditinggalkan.“Melakukan hal kecil untuk meringankan beban berat”.

.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline