Lihat ke Halaman Asli

una anshari

Melihat, Merasakan, Menulis dan Membagikan

Izinkan Buku Sampai pada Kami di Pelosok

Diperbarui: 15 Februari 2019   01:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://studentloanhero.com

Buku adalah jendela dunia. Wijaya Kusumah dalam artikelnya berjudul 'Buku adalah Jendela Ilmu' menuturkan bahwa buku adalah jendela ilmu. Dengan membaca buku akan banyak ilmu didapatkan.

Banyak orang berilmu membagi ilmu yang dikuasai dengan menuliskannya dalam bentuk buku. Dari membaca buku miliknya itu kita akan tahu ilmu yang dibagikannya. Semakin banyak membaca isi bukunya, maka semakin tahulah kita ilmu yang sudah dituliskannya. Kita pun mengambil pelajaran penting dari apa yang dituliskannya. Bila tulisannya sangat mencerahkan, biasanya kita akan terhanyut dengan apa-apa yang disampaikan oleh penulisnya. Tanpa disadari kita telah menjadi follower dari penulis buku.

Satu buku yang kita genggam, baca dan bersamai biasanya tidak dibutuhkan waktu lama untuk membacanya sampai habis. Seseorang bisa menghabiskannya seharian. Atau melahapnya tiga hari. Untuk buku dengan ketebalan 200 sampai 300 halaman.

Namun, dalam waktu yang sesingkat itu, pemikiran-pemikiran baru timbul dan terbentuk setelahnya. Menjadikan diri kita yang baru. Terisi pemahaman yang baik, terpenuhi nilai-nilai yang kita dapatkan selama membaca.

Tetapi, bayangkan untuk membuat satu buku, sang penulis menghabiskan waktu bertahun-tahun. Atau memutar kembali ingatan mengenai perjalanan selama ia hidup. Ada waktu yang dikorbankan. Ada luka yang ditekan kembali. Ada perjuangan yang diikhlaskan.

Melihat penjelasan di atas, maka membaca buku sangatlah penting dalam kehidupan seseorang. Namun sayangnya berdasarkan studi "Most Littered Nation In the World" yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca.

Ini sangat menghawatirkan, sebab membaca merupakan jembatan kesuksesan bagi anak bangsa. Pun, sejalan dengan perintah pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad sang pembawa risalah iqra yang artinya bacalah.

Belum selesai masalah minat baca, tahun 2017 kita dikejutkan oleh keluhan salah satu novelis produktif Indonesia yang novelnya selalu menjadi best seller yaitu Tere Liye. Ia memprotes kebijakan pemerintah soal pajak penulis yang dinilainya berlapis sehingga menjadi lebih tinggi dibandingkan profesi lainnya. Tidak mendapat tanggapan dari pejabat pajak, ia memutuskan akan berhenti menerbitkan buku.

Sri Mulyani, menteri keuangan saat itu yang juga merupakan kakak kelas penulis di FEUI langsung menanggapi dengan meminta Ditjen pajak untuk membicarakan keluhan tersebut. Setelahnya Ditjen pajak ikut menanggapi polemik pajak yang dikeluhkan tersebut.

Berbagai tanggapan muncul saat itu baik dari penulis, netizen sok tahu, netizen sok bijak, bahkan penulis kondang Dee yang sering disebut 'Ibu Suri' ikut meramaikan

Ada yang menilai Tere Liye terlalu cengeng, harusnya sebagai wajib pajak ya bayar saja tidak usah protes. Banyak yang setuju ikut curhat dan mengatakan "walau belum berpenghasilan royalti seperti Tere Liye tetap saja pajak ini mencekik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline