"Ami, Amiii!" teriak pilu mei-mei dari dalam kamar. Begitulah bila bangun tidur tidak mendapatiku di sampingnya. Gadis mungil berumur 6 tahun itu sudah terlalu sayang padaku. Sedang aku padanya, lebih dari itu. Seperti anak sendiri, itu maksudku.
"Ke ke, Ti ti, habiskan roti juga susunya!" pintaku pada kedua saudara laki-laki mei-mei, sambil berlalu ke kamar. Mereka berdua memang terbiasa bangun lebih awal.
"Aku datang ..., Mei-mei cantik," godaku, mendekati tempat tidur. Tampak wajah mungil itu tersipu, sembari merentangkan tangan. Aku menyambut dengan pelukan gemas.
"Ayi! Ayi ...!" Suara Ke ke terdengar panik, "cepat tolongin kakek, Ayi!" lanjutnya semakin menyentakku. Pasti jatuh lagi.
Segera kugendong mei-mei yang memang dari lahir punya keistimewaan, tidak bisa jalan. Ia kududukkan di kursi khusus, lalu berlari ke kamar kakek.
Begitulah sebagian kecil kepanikan yang harus ku hadapi di hari-hari kerja.
"Penting aku bisa menjalaninya, cukup!"
Seperti itulah perkataan halus sebuah kepasrahan yang selalu dipegang sebagian besar PMI (Pekerja Migran Indonesia) di luar negeri. Termasuk aku.
Padahal secara sadar tahu bahwa itu sudah termasuk Humans Trafficking. Dasar saya aja yang malas, ah lebih tepatnya tidak berani untuk merundingkannya dengan majikan.
*BERSAMBUNG*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H