Lihat ke Halaman Asli

UMU NISARISTIANA

Content Writer

Anak-Anak di Tengah Pernikahan Kedua

Diperbarui: 18 Januari 2023   15:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

14 tahun yang lalu orang tuaku bercerai dengan tidak baik-baik saja. Belum genap dua tahun ibukku memutuskan menikah lagi meskipun hanya bertahan kisaran tiga atau empat tahun, saya tidak tahu pasti bahkan sampai saat ini. Saya tidak berusaha mencari tau, begitupula ibukku tidak berinisiatif memberi tahu. Selisih empat tahun setelah bercerai, bapakku memutuskan untuk menikah lagi.

Saya pernah satu rumah bersama ibu dengan pasangan barunya dan saya juga pernah satu rumah bersama bapak dengan pasangan barunya. Disini saya ingin bercerita secara obyektif (saya usahakan) mengenai kehidupan seorang anak di tengah-tengah orang tua yang memutuskan untuk menikah lagi.

Sulit, sungkan dan merasa disisihkan. Singkatnya, itulah perasaan yang saya rasakan berada di tengah-tengah kehidupan pernikahan ke dua. Banyak sekali perubahan suasana di dalam rumah, saya harus mau cepat beradaptasi dengan orang baru termasuk karakter, kebiasaan dan pola pikir. Proses adaptasi terasa sangat sulit terlebih saat itu saya sedang memasuki masa pubertas yang butuh perhatian tak terbatas.

Peran-peran lama yang diambil alih oleh sosok yang berbeda membuat saya sungkan untuk berada di rumah. Bahkan, jika ingin menonton tayangan TV saja saya harus melihat-lihat situasi dahulu. Apakah TV nya sedang ditonton oleh bapak/ibu baru saya? Kalaupun kita menonton bersama, apakah bapak/ibu baru saya menyukai tayangan itu? 

Apakah bapak/ibu baru saya nyaman jika saya menonton TV sambil tiduran dan mengangkat kaki? Atau jika saya lupa membawa handuk saat mandi dan saya meminta tolong bapak/ibu baru saya untuk mengambilkan handuk apakah itu sopan? Dan kejadian-kejadian terbilang "biasa" tapi memunculkan banyak pertanyaan akibat merasa sungkan.

Ada orang bilang, perasaan sungkan bisa hilang jika kita mau saling mengenal. Mungkin bapak/ibu baru saya selalu berusaha untuk mendekati dan mengenal saya. Tetapi, entah mengapa saya merasa ada sesuatu yang mereka ambil dari saya. 

Sampai saat inipun saya tidak bisa mendeskripsikan sesuatu itu. Terlebih jika beberapa kali orang tuaku lebih memprioritaskan kebutuhan pasangan barunya daripada kebutuhan saya sebagai anaknya. 

Suasana rumah tidak lagi seperti dulu, saat mereka bercengkrama saya merasa menjadi "pihak luar". Bahkan, saat memutuskan hal-hal remeh seperti warna cat rumah jika orang tua saya lebih setuju dengan pendapat pasangan barunya daripada pendapat saya, itu sedikit membuat saya merasa disisihkan. Saya terdengar sangat sensitive/baperan bukan?

Entahlah, meskipun sudah sembilan tahun proses adaptasi ini masih sulit. Rumah tidak seperti rumah, orang tua tidak seperti orang tua. Menginjak usia yang hampir kepala tiga, saya berusaha untuk menyikapi situasi ini dengan bijaksana dengan mengambil pelajaran, yaitu pilihan second marriage hanya untuk pasangan bercerai yang belum memiliki anak. Bagi pasangan yang bercerai dan sudah memiliki anak sebaiknya tidak perlu menikah lagi. Kenapa seperti itu?

  • Peristiwa perceraian saja sudah cukup membuat anak trauma secara psikologis. Dan recovery dari trauma ini seringkali memakan waktu yang cukup lama. Belum sembuh recovery, anak dituntut untuk beradaptasi dengan situasi tidak nyaman yang baru. Ini sungguh melelahkan dan menyesakkan bagi anak.
  • Selepas peristiwa perceraian, anak hanya butuh kehadiran penuh dari orang tua meskipun dengan situasi yang baru. Anak tidak membutuhkan sosok baru yang menggantikan peran orang tua tersebut. Jadi salah, jika ada anggapan "saya menikah karena anak-anak juga membutuhkan sosok bapak/ibu baru". Orang baru tidak akan mampu membawa perasaan lama, pasti akan tetap berbeda.
  • Fokus pada perkembangan anak, sampai anak sendiri yang memutuskan untuk meminta orang tuanya memiliki pasangan baru. Keputusan dan kesadaran anak ini mampu membantunya untuk adaptasi dengan situasi rumah yang baru, daripada keputusan untuk menikah lagi hanya muncul pada orang tua mereka.

Mungkin kesimpulan ini, tidak membuat nyaman bagi beberapa orang dengan alasan "orang dewasa juga membutuhkan kepuasan" bagi saya alasan itu terbilang egois. Sebab, memutuskan untuk bercerai saja sudah egois bagi anak. Kemudian, orang tua memutuskan untuk menikah lagi untuk memenuhi kebutuhan seksualnya. Apa egoisnya tidak double-double?

Kenapa tidak menganggap bahwa masa vakum menikah digunakan untuk merefleksikan diri atau menemukan diri sendiri yang sempat "terhambat" karena sudah beristri/bersuami. Atau anggap saja masa vakum menikah ini dan menahan hasrat berhubungan badan sebagai bentuk hukuman karena sudah menjadi penyebab anak tidak memiliki keluarga yang utuh lagi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline