Jam menunjukkan pukul 20:15, listrik sudah menyala dan hujan sudah tidak begitu deras. Sudah tiga jam, ibu depan rumah menemaniku yang sedang ditinggal suami shift siang di rumah sakit. Seolah mengerti bahwa istrinya akan pulang, bapak depan rumah menjemput dengan membawa payung dan sepatu boots.
Beliau menata sepasang sepatu boots di terasku agar istrinya hanya perlu memasukkan kakinya ke dalam sepatu. Mungkin kisah ini biasa saja, tapi jika kamu tau jarak rumahku dan sepasang suami istri yang telah menikah 25 tahun itu hanya empat langkah orang dewasa. Kisah ini cukup menarik, setidaknya bagiku.
Sudah lima bulan aku tinggal di lingkungan ini dan ada banyak pelajaran kehidupan yang aku dapatkan diri, terutama soal kehidupan rumah tangga. Sebelum menikah aku mendapat banyak nasihat dari para sesepuh tentang kehidupan rumah tangga khususnya bab faktor perusak rumahh tangga.
Setelah aku simpulkan gaya hidup dinilai oleh rata-rata para sesepuh sebagai factor perusak rumah tangga. Sebenarnya, tanpa perlu menikah gaya hidup memang sudah menjadi faktor perusak hidup seseorang apalagi dalam kehidupan berumah tangga. Realitanya, dalam kehidupan rumah tangga kita dituntut untuk lebih pintar mempersiapkan segalanya, termasuk dalam hal finansial. Seperti, dana tempat tinggal (yang belum memiliki rumah), dana kelahiran anak, dana pendidikan anak, dana darurat dan lain-lain. Pembagian pos keuangan sangat berbeda dsbanding saat kita masih sendiri.
Hal inilah yang membuat kita harus benar-benar mengatur dengan serius gaya hidup kita. Saat kita sudah menikah, sudah bukan lagi waktunya untuk hidup bebas dan berfoya-foya. Membangunn gaya hidup positif dalam segala aspek; finansial, kesehatan dan pendidikan jadi hal penting dalam berumah tangga. Jika hal ini sudah mampu dikendalikan oleh pasangan suami-istri niscaya jauh dari situasi yang mengancam rumah tangga.
Nasihat kedua tentang faktor perusak rumah tangga adalah berubahnya atau bergesernya peran dari anggota keluarga. Contoh kasus yang paling sering dijumpai adalah istri merangkap tugas dan tanggung jawab sebagai pencari nafkah keluarga. Nafkah keluarga yang dimaksud adalah pemenuhan kebutuhan primer dalam keluarga (sandang, papan dan pangan) kebutuhan yang jika tidak terpenuhi maka akan mengancam kelangsungan hidup seseorang.
Disadari atau tidak perubahan atau pergeseran tugas dan tanggung jawab ini memicu adanya konflik dalam rumah tangga. Terlebih situasi sosial saat ini cenderung "memuliakan" orang yang memiliki banyak uang daripada orang yang tidak memiliki uang. Idealnya, laki-laki menjadi kepala rumah tangga tetapi jika wanita juga ikut mencari nafkah situasi ini membangun lingkungan keluarga memiliki dua kepala atau pemimpin.
Dua pemimpin ini cenderung membawa ego masing-masing dalam mengurusi rumah tangga apalagi jika disisipi dengan merasa "paling" diantara keduanya. Itulah, dua nasihat yang diberikan oleh sesepuh dalam keluarga besar (aku dan suami) serta satu nasihat yang diberikan oleh pasangan romantis depan rumahku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H