Istilah broken home semakin populer sejalan dengan meningkatnya kasus perceraian di Indonesia. Secara sederhana, broken home berarti kondisi keluarga tidak utuh sehingga mempengaruhi peran anggota keluarga dalam menjalannya kewajibannya.
"Tidak utuh" disini bisa disebabkan oleh suami/istri meninggal dunia, suami/istri kabur dari rumah, perceraian, orang tua tidak memberikan kasih sayang kepada anaknya (sibuk bekerja), kerap terjadi pertengkaran dan hubungan orang tua yang tidak harmonis.
Merujuk dari hal itu, tulisan ini lebih berfokus pada broken home yang disebabkan oleh perceraian.
Mendapati orang tua bercerai merupakan pukulan terberat bagi anak, apalagi jika anak sedang masa pertumbuhan awal sekitar SD-SMP-SMA. Perpecahan di dalam keluarga sangat mempengaruhi kesehatan mental dan psikologis anak.
Ketakutan dan kebingungan akan dirasakan oleh anak di awal mendapati orang tua bercerai sebab di usia mereka yang belum matang harus dihadapkan pada pilihan sulit; hidup dengan ibu atau ayah.
Terlebih jika, pertengkaran antara ibu dan ayah tetap berlanjut meski sudah resmi bercerai. Semua pilihan bagai makan buah simalakama.
Tidak berhenti sampai disitu, anak broken home juga mengalami trauma entah sebab melihat atau mendengar secara langsung kekerasan verbal dan non verbal saat orang tua mereka sedang bertengkar atau karena sebab adanya perasaan kehilangan, kesedihan, ketidakberdayaan yang mendalam.
Adanya trauma ini membuat anak broken home tumbuh dengan membawa kenangan yang buruk tentang keluarga.
Realitanya, kenangan buruk terhadap keluarga juga menghantui anak broken home di usia ideal untuk menikah, secara garis besar mereka akan merasa:
1. Sulit Percaya pada Orang Lain
Bagi anak broken home, keputusan orang tua untuk bercerai kerap dikaitkan dengan "meninggalkan". Perasaan ditinggalkan dan kehilangan terlebih oleh keluarga yang semestinya menjadi orang terdekat menjadikan anak broken home sulit untuk menaruh kepercayaan kepada orang lain.