Lihat ke Halaman Asli

UMU NISARISTIANA

Content Writer

Self-Knowledge, Akar Gerakan Masyarakat Sipil untuk Mengikis Intoleransi

Diperbarui: 2 Januari 2021   15:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sulitnya Bersikap Toleran

Kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) sejak tahun 2017 menjadi persoalan besar bangsa Indonesia. Bahkan dikala pandemi saat ini, kasus KBB masih saja terus terjadi seperti pada bulan April 2020 terjadi peristiwa penggerebekan di rumah seorang penatua di Cikarang, Jawa Barat oleh dua orang pria salah satunya bernama Imam Mulyana. Meskipun kemudian kasus tersebut berakhir dengan damai. Lima bulan kemudian, tepatnya bulan September 2020 sekelompok warga Prima Jonggol menolak ibadah jemaat Gereja Pantekosta di Bogor. Hari berikutnya pada 21 September 2020 di tempat yang berbeda umat Kristen desa Ngastemi, Mojokerto dilarang beribadah oleh sekelompok orang.

Disebutkan oleh direktur Riset SETARA institute, Halili Hasan aksi KBB dan intoleransi di Indonesia sejak pemerintahan Jokowi semakin menjamur disebabkan oleh lemahnya kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan jajarannya. Pada periode pertama, ditemukan 846 kasus KBB sedangkan di periode kedua ada 200 kasus. Meskipun, oleh komnas HAM pemerintah berperan besar dalam mengurangi kasus KBB dan intoleransi di Indonesia. Namun, gerakan masyarakat sipil tidak kalah penting seperti meningkatkan literasi keagamaan, membuka ruang jumpa lintas iman, menghadirkan narasi keagaman yang moderat, membangun ketahanan sosial lintas identitas.  

Gerakan masyarakat sipil ini bukan suatu hal yang mudah untuk dilakukan. Terlebih sikap intoleransi jika dilihat dari sudut pandang psikologis terbangun akibat adanya hasrat untuk menguasai dan mengendalikan orang lain. Pada dasarnya setiap manusia memiliki hasrat itu, namun jika hasrat ini tidak terkontrol maka akan ada banyak persoalan antar personal yang terjadi, seperti halnya dalam kasus KBB. Ketidakmampuan seseorang dalam mengontrol hasrat ini membuatnya memaksakan kehendak, pandangan atau pendapat kepada orang lain. Bahkan, ia cenderung mudah tersulut emosi dan menghalalkan segala cara agar kehendaknya terpenuhi. Sehingga wajar, jika terjadi banyak kekerasan verbal maupun non verbal dalam kasus KBB dan intoleransi.

Dari sudut pandang psikologis ini, maka menjadi penting bagi seseorang untuk memiliki pengetahuan tentang diri atau populer disebut dengan istilah Self Knowledge agar mampu mengontrol hasrat ingin menguasai dan mengendalikan orang lain sehingga gerakan masyarakat sipil dalam mengikis intoleransi dapat terwujud.

Bagaimana Self-knowledge dapat Mengikis Intoleransi?

Self-Knowledge aau pengetahuan diri memberikan seseorang kemampuan untuk menjelaskan dan memperkirakan perilaku juga perasaannya sehingga respon yang ditunjukkan dalam menanggapi suatu situasi atau persoalan akan lebih tepat. Self-Knowledge menjadi sangat penting mengingat banyak orang seringkali tidak mengetahui secara sadar dan pasti dalam melakukan atau merespon suatu situasi. Seperti contoh; semua masyarakat secara sadar menyepakati bahwa intoleransi adalah tindakan buruk bahkan dinilai mengancam keragaman masyarakat Indonesia. Namun, entah mengapa masih banyak oknum yang bertindak intoleran dengan mengatas namakan keyakinan atau pandangan yang dipegangnya.

Tidak banyak orang, bahkan orang dewasa sekalipun memiliki self-knowledge yang bagus. Entah sebab tidak ada waktu untuk berkenalan dengan diri sendiri atau hanya karena terlalu sibuk mengurusi urusan orang lain sampai lupa mengurusi dirinya sendiri. Pertanyaan-pertanyaan sederhana seperti;

"siapa saya?"

"peran apa yang saya ambil di dunia?"

"apa yang membuat saya bahagia/sedih/kecewa/marah?"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline