Lihat ke Halaman Asli

Umu Fatimiah

Penulis freelance

Gelak Tawa Suharto

Diperbarui: 2 November 2020   22:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Matahari begitu terik siang itu. Suharto, seorang pedagang asongan yang biasa menjajakan dagangannya di setiap bus yang sedang mengistirahatkan mesinnya di terminal nampak kelelahan. Di bawah terpaan panas matahari, tubuhnya yang hitam dan kurus itu dipenuhi dengan peluh. Mata dan rambutnya tampak memerah akibat terpapar sinar matahari.

Di badan sebuah bus yang sedang berhenti, Suharto menyandarkan tubuhnya yang lelah. Ia menyapu peluh di wajahnya dengan handuk kecil yang disandarkannya di bahu sambil sesekali memandangi orang yang berlalu-lalang di sekitarnya.

Suharto lalu merogoh isi kantungnya, mencari tahu jumlah uang yang didapatnya hari ini. Empat lembar uang sepuluh ribuan dan lima belas lembar uang dua ribuan tengah berada di tanganya.

"Ah, baru tujuh puluh ribu," keluhnya dalam hati.

Tujuh puluh ribu untuknya masihlah sangat sedikit. Itu baru menutup sebagian modal awal dagangannya saja. Ia masih harus berusaha untuk mendapatkan keuntungan yang akan dipergunakan untuk makan anak dan istrinya hari ini.

"Hei To, sudah dapat banyak duit ya?," tanya seorang pengemis bernama Kardi yang sedari tadi mengamatinya.

            "Kamu Di, ngagetin aja. Iya nih. Lumayanlah, masih ada uang yang bisa dipegang," ucapnya menghibur diri.

            "Syukur deh. Kamu sudah makan belum? Aku laper banget, belum makan sejak tadi pagi. Makan bareng yuk!," ajak Kardi.

            "Ah aku belum lapar Di. Sudahlah kamu duluan saja!."

            "Ayolah ikut, aku dapat banyak pemasukan hari ini."

            "Terimakasih Di. Lain kali sajalah."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline