Lihat ke Halaman Asli

UmsidaMenyapa1912

Universitas Muhammadiyah Sidoarjo

Liberalisme dan Pandangannya Kepada Islam

Diperbarui: 28 Mei 2024   18:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: Freepik

Era sekarang memiliki banyak sebutan. Sebelumnya, hanya ada satu: Era Modern, meski sebenarnya yang mengalami masa modern itu hanya di Barat. Namun, era sekarang para filsuf/intelektual menyebut era Post-Modern/Pasca-Modern, Post-Enlightenment/Pasca-Pencerahan, dan Post-Colonialism/Pasca-Kolonialisme. Masing-masing sebutan memiliki karakteristiknya.

Tidak bisa dipungkiri bahwa kita umat Islam berada di era tersebut. Era yang kental dengan nuansa Barat. Dan ketika berhadapan dengan Barat, umat Islam sering menghadapi banyak pertanyaan, terutama mengenai gagasan pasca-Pencerahan dan hubungannya dengan Islam. Misalnya, orang Barat mungkin bertanya mengapa umat Islam tersinggung ketika sosok Nabi Muhammad digambar atau ketika ada penghinaan terhadap Islam. 

Orang Barat mungkin menganggap hal ini sebagai isu kebebasan berekspresi (liberalisme) dan mempertanyakan apakah Islam menentang kebebasan tersebut. 

Baca juga: Cegah Gerakan Radikal Melalui Integrasi Darul 'Ahdi wa Syahadah

Argumennya bisa lebih jauh lagi, dengan menyatakan bahwa Islam adalah agama terbelakang yang perlu direformasi, karena tampaknya bertentangan dengan nilai-nilai Pencerahan seperti liberalisme dan kebebasan berpendapat.

Ini adalah pertanyaan-pertanyaan penting, namun hal yang lebih penting adalah bagi kita umat Islam untuk memeriksa asumsi-asumsi di balik pertanyaan-pertanyaan tersebut. Ini karena setiap pertanyaan mempunyai praanggapan---asumsi yang mendasarinya. Misalnya, ketika umat Islam langsung bersikap defensif, hal ini mencerminkan bagaimana negara-negara kolonial Barat pernah mencoba memaksakan keyakinan mereka secara militer, dan sekarang, pengaruh Barat pasca-kolonial mencoba melakukan hal tersebut secara ideologis.

Ada beragam tanggapan umat Islam terhadap tantangan ini. Beberapa orang mungkin menyerah dan setuju bahwa Islam memerlukan reformasi dan kebangkitan kembali agar selaras dengan cita-cita Barat. Pihak lain menolak sepenuhnya gagasan ini, menganggapnya sebagai ideologi beracun yang harus diberantas. Pihak pertama boleh jadi mereka dilabeli sebagai kelompok lunak, sedangkan kelompok kedua disebut sebagai kelompok garis keras.

Argumen inti di sini adalah bahwa pertanyaan-pertanyaan itu sendiri bermasalah. Untuk mengatasi hal ini kita perlu memahami asal usul perkembangan paham Liberalisme, menelaah prinsip-prinsip dasarnya, dan menganalisis dampak terhadap wacana antara Islam dan Barat.

Banyak konsep seperti kebebasan berekspresi dan berbicara merupakan perluasan dari kerangka filosofi liberal. Jika sebuah pertanyaan mengandaikan liberalisme, kita harus bertanya: Bagaimana jika ideologi itu sendiri cacat atau tidak berdasar? Misalnya, jika liberalisme didasarkan pada praanggapan yang dapat diperbaiki (mampu melakukan reformasi atau perbaikan), maka pertanyaan-pertanyaan yang menentang Islam berdasarkan liberalisme mungkin sudah ketinggalan zaman.

Asal-Usul dan Prinsip Liberalisme: Kesetaraan, Hedonisme, Tidak Merugikan

Ilustrasi: Freepik

Dalam sejarah liberalisme. John Locke, seorang tokoh berpengaruh yang meninggal pada tahun 1704, menulis Two Treatises of Government, yang menganjurkan kontrak sosial dan kesetaraan serta kebebasan semua individu. Locke, seorang Kristen Unitarian (berseberangan dengan Trinitarian), percaya pada satu Tuhan dan mendasarkan sebagian besar filosofinya pada keyakinan ini. Ide-idenya secara signifikan mempengaruhi dokumen-dokumen politik Barat seperti Deklarasi Kemerdekaan AS dan Bill of Rights Inggris.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline