Lihat ke Halaman Asli

UmsidaMenyapa1912

Universitas Muhammadiyah Sidoarjo

Menunggu Kebijaksanaan Mahkamah Konstitusi

Diperbarui: 16 April 2024   13:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: Freepik

Proses kompetisi berebut kuasa dalam Pemilu 2024 memasuki babak akhir, setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar persidangan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU). Sebagai salah satu fase dalam sistem pemilu di Indonesia, PHPU disediakan untuk siapa pun yang merasa dirugikan atas keputusan KPU tentang penetapan hasil Pemilu.

Karenanya, pihak Pemohon/Penggugat dalam PHPU di tahun 2024 ini sejatinya tidak hanya Paslon Presiden dan Wakil Presiden yang dinyatakan kalah oleh KPU. Merujuk pada laman Mahkamah Konstitusi, sekurangnya terdapat 273 permohonan yang diajukan oleh para kontestan Pemilu, baik dari unsur Partai maupun individual (calon DPD dan Presiden). Jumlah perkara itu sedikit lebih besar dari jumlah perkara PHPU pada edisi Pemilu 2019.

Lihat juga: MK Perbolehkan Parpol Kampanye di Tempat Pendidikan, Pakar Hukum Umsida Beri Tanggapan

Terlepas dari meningkatnya jumlah permohonan PHPU tahun ini, sebagian besar perhatian bangsa ini tercurah pada proses PHPU terkait persengketaan hasil pemilihan Presiden. Terlepas dari luasnya dampak persengketaan Pilpres bagi kehidupan bernegara, besarnya atensi publik banyak dipengaruhi oleh kuatnya narasi yang berkembang seputar penyelenggaraan Pilpres kali tahun ini.

Sejak Gibran Rakabuming lolos menjadi Cawapres melalui drama pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi, kritik terhadap kredibilitas Pemilu dan pembusukan demokrasi gencar disuarakan. Puncaknya adalah hadirnya film Dirty Vote yang menarasikan proses curang dalam penyelenggaraan Pemilu (khususnya Pilpres) 2024.

Presumsi pembusukan demokrasi dan Pemilu curang yang dibangun dalam Dirty Vote bukan tanpa dasar. Disamping proses kehadiran Gibran sebagai Cawapres yang dinilai cacat etik (versi MKMK), kedudukannya sebagai anak Presiden Jokowi juga cukup menebalkan dugaan yang ada. Terlebih Presiden Jokowi santer dikaitkan dengan wacana tiga periode dan perpanjangan masa jabatan presiden. Maka muncul kecurigaan bahwa Pemilu 2024 sudah dikondisikan untuk memuluskan langkah Gibran melanjutkan agenda tiga periode.

Ketika KPU menetapkan Paslon No. 2 sebagai pemenang Pilpres dalam satu putaran, presumsi tentang kecurangan Pilpres itu seperti menemukan alat pembenarannya. Jika kita mengikuti persidangan MK, ragam argumentasi yang disajikan oleh Pemohon 1 (Paslon No. 1) dan Pemohon 2 (Paslon No. 3), berfokus untuk mendalilkan adanya kecurangan secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) dalam proses Pemilu 2024.

Tidak ada data rekapitulasi KPU yang secara serius dan signifikan dipermasalahkan layaknya sengketa PHPU pada umumnya. Sorotan utama dari rangkaian dalil kedua Pemohon lebih diarahkan pada proses Pemilu. Bahkan secara khusus diarahkan pada dugaan penyalahgunaan kekuasaan oleh Presiden Jokowi guna memuluskan langkah Paslon No. 2. Sehingga wajar jika dalam petitum Pemohon terdapat tuntutan untuk mendiskualifikasi kepesertaan Paslon No. 2 dalam Pilpres 2024.

Identitas Mahkamah Konstitusi sebagai Penyelesai Sengketa Pemilu

Ilustrasi: Freepik

Salah satu isu yang mengemuka dalam proses penyelesaian sengketa Pilpres di Mahkamah Konstitusi saat ini adalah terkait kedudukan MK dalam mengadili perkara yang diajukan oleh Pemohon. Mengingat sebagian besar konstruksi argumentasi dan pokok permohonan Pemohon berada di luar keputusan KPU tentang penetapan hasil pemilihan Presiden, maka pertanyaan tentang ruang kompetensi absolut Mahkamah Konstitusi menjadi relevan diperdebatkan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline