Lihat ke Halaman Asli

UmsidaMenyapa1912

Universitas Muhammadiyah Sidoarjo

Dosen Umsida Jelaskan Puasa Sebagai Ekspresi Kemanusiaan

Diperbarui: 2 April 2024   10:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Freepik

Dibulan Ramadhan yang suci ini Dr Kumara Adji Kusuma SFil I CIFP dosen Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida) berikan tanggapan bahwa puasa adalah ekspresi kemanusiaan.

Dalam kisah yang disampaikan al-Quran tentang dimulainya kehidupan dunia, Allah memerintahkan manusia, Iblis, dan setan untuk turun/keluar dari Surga (al-Baqarah: 38). Manusia turun untuk memenuhi takdirnya sebagai khalifah Allah di Bumi (30) dan Iblis-setan keluar untuk menjadi musuh abadi bagi manusia (al'A'raf: 12-18).

Sebagai khalifah (wakil/pengganti) Allah di Bumi, Allah menjanjikan kepada manusia dengan kelengkapan perangkat kehidupan berupa petunjuk "Langit" sehingga siapa pun anak keturunan Adam yang menerima petunjuk-Nya maka tidak ada rasa takut dan rasa sedih (al-Baqarah: 38). Petunjuk ini merupakan hikmah Allah karena salah satu sifat manusia yang bisa tergelincir atas bujuk rayu setan (al-Baqarah: 36) dan Iblis.

Janji itu diwujudkan Allah hingga pada setiap generasi keturunan Adam. Pada setiap umat di setiap zaman, ada Nabi yang diutus untuk membawa petunjuk-Nya. Ya, dalam Islam, keyakinan bahwa Allah mengirim seorang nabi kepada setiap umat (kaum) adalah ajaran yang fundamental (an-Nahl: 36; Yunus :47). Fundamental, karena petunjuk ini nilai dasar keyakinan, dan setiap wahyu yang turun selalu membawa perubahan besar di masyarakat.

"Setiap nabi menerima petunjuk Allah yang menjadi risalah kehidupan. Dalam konteks ini, risalah tersebut menjadi aturan hukum yang mengikat manusia dalam kehidupan sehari-hari, tentang ibadah dan muamalah."

Tidak heran jika Prof Ziaul Haque, dalam Wahyu dan Revolusi membahas bagaimana wahyu Islam memengaruhi atau dapat menjadi dasar bagi revolusi atau perubahan positif dalam masyarakat Muslim, baik dalam hal pemikiran, nilai, atau tindakan. Karena setiap nabi kemudian melakukan "perlawanan" terhadap berbagai tindak kejahatan, kezaliman, kekejian, kemaksiatan, terutamanya kemusyrikan.

Dalam bentangan sejarah, para nabi dan rasul Allah telah menunjukkan bagaimana wahyu yang diterimanya mewajibkan dirinya untuk melakukan perubahan-perubahan yang fundamental dalam masyarakat. Selanjutnya, dalam kondisi normal pascakemenangan sang Nabi, mewujudlah syariah bagi masyarakatnya. Dan dalam beberapa waktu setelah sepeninggal nabinya, kemudian terdapat penyimpangan-penyimpangan fundamental hingga menjadi ajaran, doktrin, agama yang berbeda dari ajaran nabinya. Kemudian Allah mengirimkan kembali utusan-Nya untuk meluruskan penyimpangan tersebut. Demikian seterusnya hingga Rasul terakhir.

Syar'u Man Qablana

Dalam usul fikih ada istilah "syar'u man qablana." Secara harfiah diterjemahkan sebagai "hukum bagi umat sebelum kita". Konsep ini merujuk pada keyakinan dalam Islam bahwa setiap umat sebelum umat Islam juga menerima petunjuk dan perintah dari Allah melalui nabi-nabi yang diutus kepada mereka.

Setiap nabi menerima petunjuk Allah yang menjadi risalah kehidupan. Dalam konteks ini, risalah tersebut menjadi aturan hukum yang mengikat manusia dalam kehidupan sehari-hari, tentang ibadah dan muamalah. Risalah terakhir yang diterima manusia adalah disampaikan kepada Rasul Muhammad SAW. Berbagai syariah sebelumnya, setelah disampaikannya wahyu kepada nabi penutup, menjadi mansukh (terbatalkan).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline