Lihat ke Halaman Asli

tresna dewi kharisma

pemerhati masalah keumatan

Mengurai Benang Kusut Tingginya Tarif Terbang: Tata Ulang Basis Pengelolaan Transportasi dengan Syariah

Diperbarui: 15 Juli 2020   16:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Transportasi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Wirestock

Jelang lebaran, biasanya masyarakat Indonesia mengeluhkan harga kebutuhan bahan pokok yang mahal. Namun lebaran beberapa tahum kemarin masyarakat justru mengeluhkan harga tiket penerbangan yang mahal. Padahal pesawat merupakan transportasi yang penting. 

Mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan, jika sebuah perjalanan dilakukan melalui darat atau laut maka akan memakan waktu yang lama, oleh sebab itu dengan dengan adanya pesawat maka dapat mempermudah masyarakat dalam menyingkat waktu perjalanan. Dengan menggunakan pesawat kita dapat menembus waktu untuk lebih awal. Begitulah adanya teknologi modern, ada untuk memudahkan.

Namun bagaimana bila akses yang memudahkan tadi kini dijegal untuk meraup kepentingan sekelompok orang. Dilansir dari kompas.com, Association of the Indonesian Tour and Travel Agencies (ASITA) Riau, mengeluhkan banyak masyarakat membatalkan paket wisata yang sudah dipesan lewat travel agent, karena masih mahalnya harga tiket pesawat. 

Tak hanya maskapai penerbangan di Riau, hampir seluruh Indonesia mengalami hal yang sama. Bahkan di musim mudik dan libur lebaran lalu banyak bandara di sejumlah kota pariwisata sepi seperti bandara Solo, Malang,  bahkan penerbangan di bandara Batam mengalami pembatalan tiket sebanyak 6 penerbangan (tribunbatam.id). 

Bandara Trunojoyo Madura, Bandara Internasional Minangkabau Padang Pariaman, Bandara Sultan Iskandar Muda Aceh,dan Bandara Ahmad Yani Semarang pun mengalami nasib yang sama.

 Kenaikan biaya tiket pesawat terjadi semenjak akhir tahun 2018 hingga sekarang. Ongkos yang harus dibayarkan sudah melampaui jangkauan masyarakat. Seperti rute Jakarta-Padang di tanggal 28 Mei hingga 3 Juni 2019 sold out dan tersisa tanggal 4 Juni Rp 4,6 Juta, dan Jakarta-Medan dengan maskapai Garuda yang tersisa kelas bisnis dengan harga Rp 9.942.600 (detik.com). 

Sementara daya beli masyarakat Rp 1 juta-1,5 juta berdasarkan hasil riset LM FEB UI terhadap Affordability to Pay (ATP/ Keterjangkauan untuk Membayar) dan Willingness to Pay (WTP/ Kesediaan untuk Membayar) (detik.com). Harga ini melebihi harga tiket ke luar negeri. Sementara harga tiket angkutan kereta api, bis dan kapal juga tidak dapat dikatakan murah.

Menanggapi mahalnya tiket pesawat, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menyatakan bahwa persoalan harga tiket bukanlah tanggung jawabnya dan institusi yang ia pimpin. Menurut beliau, yang menjadi urusannya adalah mengatur Tarif Batas Atas (TBA) dan Tarif Batas Bawah (TBB). 

Sebagimana pernyataan ini dilansir dalam suara.com pada 17 Juni 2019. "(Mahalnya harga) Tiket itu bukan urusan saya. Jadi urusan dari airlines-nya," ujar Budi Karya di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (17/6/2019).

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Abra Tallatof mengungkapkan dampak kenaikan harga tiket pesawat berpotensi menyeret pertumbuhan ekonomi kuartal I 2019. Pasalnya, kenaikan harga tiket pesawat akan berpengaruh pada sejumlah sektor ekonomi mulai dari pariwisata, transportasi, logistik, hingga ritel. 

Di sektor pariwisata, kenaikan harga tiket pesawat akan menekan jumlah wisatawan domestik. Kondisi ini akan berpengaruh pada bisnis perhotelan dan penjualan oleh-oleh Usaha Mikro, Kecil dan Menengah di destinasi pariwisata. Kemudian di sektor logistik, pelaku mengeluh karena biaya pengiriman barang semakin mahal. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline