Aku lulusan psikologi sebuah PTN di Surabaya, tetapi takdir menuntunku menjadi guru di lingkungan pesantren. Awalnya aku menjadi guru MA (Madrasah Aliyah), kemudian aku menjadi guru TK (Taman Kanak-kanak). Ketika itu honorku hanya sekitar 20 ribu per bulan. Dan aku "enjoy" menjalaninya. Mengingat firman-Nya berikut ini , "... tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu. Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui. (QS Al-Baqarah:216)
Setelah menikah aku tinggal bersama suamiku di rumah sederhana dari kayu di sebuah desa lereng gunung Argopuro.
Rumah kami tak dilengkapi fasilitas listrik PLN dan PDAM. Sehingga mau tak mau kami menumpang listrik ke tetangga untuk menyalakan lampu 10 Watt. Sedangkan air bersih aku harus mengambilnya di sumber air atau tempat penampungan air di dekat rumah.
Dari pernikahan tersebut lahirlah anak-anak kami. Pertama bernama Hamdan. Kedua bernama Faruq. Dan ketiga bernama Adil.
Aku dan suamiku bekerja di lembaga pendidikan yang sama dengan honor yang relatif kecil. Menurut Badan Pusat Statistik, keluargaku tergolong miskin. Meskipun demikian, aku dan keluargaku hidup bahagia. Berikut ini adalah beberapa potong kisah kami.
Pagi itu. Setelah memandikan anak-anak, suamiku mencuci baju di sungai. Sementara itu aku pergi ke pancuran. Menampung air satu timba. Lalu aku membawanya ke rumah sampai tempayan di dapur penuh.
Setelah memetik sayur- mayur, seperti, labu siam, cabe rawit dan tomat di kebun belakang rumah, aku mencari ranting-ranting kering untuk kayu bakar di sekitar kebun.
Setelah mendapatkan setumpuk ranting kering, aku menyalakan tungku. menjerang air, menanak nasi, mengukus labu siam, cabe rawit dan tomat. Setelah semuanya masak, aku membuat sambal tomat di cobek. Lalu aku menaruh nasi yang masih hangat di tempat nampan. Labu siam kukus di piring. Sambal tetap di cobek. Beberapa saat kemudian aku memanggil suami dan anak- anakku.
Aku melihat suami dan anak-anakku dari balik pintu berkaca. Suamiku baru saja selesai menjemur baju dan anak- anakku sedang bermain di teras.
Aku membuka pintu dan berseru lantang: "Makanan sudah siap!"
Serta merta Hamdan dan adik-adiknya berdiri.
"Baiklah, kami sudah siap menyantap!" sahut Hamdan riang.
Suamiku tersenyum dan menaruh timba di sudut rumah "Ayo makan! Ayo makan" ajak suamiku.