Lihat ke Halaman Asli

Agar (Jakarta) Tidak Macet Lagi

Diperbarui: 24 Juni 2015   22:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Transportasi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Wirestock

Semua orang tidak suka macet. Apalagi kalau sampai berjam-jam. Banyak orang yang kebingungan bagaimana agar tidak macet. Di kota-kota besar terutama Jakarta, macet sudah merupakan makanan sehari-hari. Tak ada hari tanpa macet.

Beberapa waktu lalu saat menunjungi ibukota saya merasakan betul bagaimana kemacetan itu. Sangat sumpek dan ... panas! Terutama di jam masuk kantor, istirahat, dan ketika mau maghrib.

Tulisan ini dibuat setelah membaca artikel bahwa Jokowi sebagai gubernur Jakarta yang baru akan membangun 6 jalan tol dalam kota agar bisa mengurai kemacetan. Tentu ini dalam rangka merealisasikan janjinya selama kampanye yaitu Jakarta bebas banjir dan macet.

Menurut saya penambahan jalan tol memang akan mengurangi kemacetan diawal-awal. Tapi tidak sampai dua tahun Jakarta juga akan dikepung macet lagi. Kenapa begitu? Karena setelah merasa jakarta mulai berkurang macetnya, orang-orang akan mulai membeli mobil baru. yang selama ini menahan diri tidak membeli mobil karena takut macet merasa aman. Toh hanya bertambah satu ini, begitu pikirnya. Tapi ketika, misalnya saja 10%, warga Jakarta berpikir demikian berapa banyak penambahan mobil yang terjadi? Tentu cukup untuk memenuhi jalanan di Jakarta.

Sebenarnya yang jadi masalah bukan jumlah mobilnya, bukan pula jalannya, tapi orang-orangnya. Fungsi mobil sudah bergeser dari kebutuhan menjadi gengsi. Sebuah mobil bisa menimbulkan kebanggan bagi pemiliknya, apalagi kalau mobilnya mewah. Bagi yang kaya raya satu anggota keluarga satu mobil. Kan, nggak keren banget, masa harus nebeng Papa ke kampus, sih? Kata si anak. Terus si Mama bilang, mau arisan malu ah naik taksi, apalagi bajaj, beli mobil aja deh. Lalu si Adik bilang, Pa, aku juga mau mobil, biar bisa hang out bareng temen-temen, sekaligus ngecengin cewek-cewek cakep.

Jadi mobil tidak hanya sebagai alat transportasi, tapi lebih menunjukkan siapa pemilik mobil itu. Kalau memang hanya untuk transportasi bukankah lebih baik beli bus yang bisa muat orang banyak? Terus ditarik deh ongkosnya, lumayan buat nambah-nambah beli beras. Kalau sudah kebanyakan uang, ya digratiskan saja. Hitung-hitung sedekah buat tabungan di akhirat.

Jadi apa yang perlu dibenahi? Pertama adalah edukasi. Edukasi sangat penting untuk menyadarkan bahwa mereka adalah penyebab terjadinya kemacetan itu sendiri. Kalau orang-orang nggak pakai mobil pasti Jakarta tidak macet, betul tidaaak? Kalau Jakarta tidak macet berarti satu masalah sudah selesai, betul tidaaak? Hehe..

Baksudnya perlu adanya budaya bahwa ke kantor atau sekolah dengan naik bis umum, bis trans jakarta, atau naik sepeda adalah sebuah hal yang perlu dihargai. Jangan malah dianggap remeh, ya iyalah naik angkutan, wong nggak punya uang buat beli mobil. Ih, nggak keren banget pake dasi tapi ngantor naik sepeda. STOP! Jangan berpikir seperti itu! Mereka adalah aset bangsa yang rela mengorbankan diri agar Jakarta tidak lebih macet. Coba bayangkan jika mereka marah karena underestimate yang dilontarkan orang-orang bermobil, dan mulai membeli mobil walau harus menyicil sampai 50 tahun, maka Jakarta akan jadi lautan mobil!

Yang kedua, ini adalah tugas pemerintah. Yaitu, membenahi angkutan umum agar lebih nyaman dan bisa menjangkau seluruh titik-titik penting jakarta, utamanya daerah perkantoran, perumahan, dan pusat perbelanjaan. Ini adalah tempat yang paling sering dikunjungi. Sebagai warga yang baik bisa kok memberi masukan dan saran agar pemerintah tahu apa yang diinginkan warganya. Tapi ada satu hal yang tak kalah penting kalau sudah disediakan angkutan umum, jangan di rusak dong! Bus dibakar, kaca-kaca halte dipecahkan, toliet terminal nggak disiram, dan sederet pengrusakan-pengrusakan kecil, dicoret-coret, di congkel-congkel, di tendang-tendang.

Sebenarnya pembenahan yang paling mendesak adalah pembenahan mental dan cara berpikir. Karena keberhasilan pembangunan sangat tergantung pada subjeknya, yaitu masyarakat. Fasilitas bagus kalau tidak dimanfaatkan dengan baik hanya akan bertahan sebentar.

Begitupun dengan macet, yang bisa mengurai kemacetan adalah orang-orang yang membawa kendaraan itu sendiri. Bukan jalan, mobil, atau program pemerintah. Terlalu banyak melimpahkan tanggung jawab kepada pemerintah untuk menyelesaikan persoalan kemasyrakatan hanya akan menimbulkan kekecewaan.

Salam Hangat!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline