Pelantikana anggota DPR seolah menjadi angin segar bagi masyarakat. Mereka berharap dengan adanya DPR yang baru akan mampu bekerja sebagaimana seharusnya serta mampu lebih mengayomi aspirasi rakyat (Tirto.id, 2 Okt). Namun, disisi lain kabar miring terkait tunjangan rumah bagi DPR juga menghangat di tengah publik (BBC.com, 5 Okt). Pasalnya, ketika anggaran negara membengkak karena proyek pembangunan IKN, ternyata diikuti dengan memindahkan seluruh anggota DPR untuk meninggalkan rumah dinas karena kondisinya yang sudah sangat memprihatinkan. Sebagai gantinya, maka pemerintah memberikan tunjangan rumah kepada tiap DPR sebesar 50 juta per bulan per orang (kumparannews.com, 3 Okt). Berbagai fakta tersebut, memunculkan pertanyaan besar, terkait bagaimana wajah wakil rakyat sesungguhnya, masih bisakah rakyat ini berharap.
Paradigma Wakil Rakyat dalam Demokrasi
Konsep trias politik yang dijalankan oleh Demokrasi mengharuskan adanya tiga lembaga negara yang saling mengontrol satu sama lain. Lembaga legislatif sebagai pembuat undang undang diperankan oleh DPR sebagai perwakilan rakyat Tingkat nasional, kemudian DPRD Tingkat 1 untuk wilayah provinsi dan DPRD Tingkat 2 untuk wilayah Kabupaten Kota. Hakikatnya, lembaga legislatif berfungsi menghimpun aspirasi masyarakat untuk dijadikan sebagai pertimbangan undang undang yang diperlukan. Undang undang ini mereka buat berdasarkan problematika masyarakat yang ada di tengah tengah mereka. Sehingga, wakil rakyat digunakan sebagai wadah rakyat untuk bersuara atas pelaksanaan kebijakan politik yang dilakukan oleh lembaga Ekskutif yaitu Presiden dan kabinetnya.
Wakil rakyat juga memiliki hak untuk melakukan intrograsi atau pelaporan atas dugaan pelanggaran kekuasaan oleh lembaga Ekskutif. Apalagi jika hal tersebut merugikan kepentingan masyarakat. Wakil rakyat menentukan undang undang berdasarkan suara terbanyak yang diambil dari para fraksi partai politik yang duduk sebagai wakil rakyat. Sehingga undang undang yang dihasilkan bukanlah undang undang yang berlandaskan standart benar salah yang jelas, akan tetapi undang undang yang dianggap paling tepat menurut pemahaman yang dimiliki oleh para anggota fraksi. Demokrasi dengan asas sekulernya, melarang setiap anggota wakil rakyat untuk membuat undang undang atas landasan agama.
Mereka harus membuat undang undang bahkan memilih undang undang berdasarkan kebermanfaat baik untuk individu maupun kelompok. Hal ini menjadi niscaya karena tidak adanya standart yang jelas terkait undang undang yang baik karena standart kebenaran diserahkan pada asumsi dan pikiran manusia. Padahal, setiap manusia memiliki asumsi dan pikiran serta standart yang berbeda beda.
Oleh karena itu, bukan hal yang aneh jika wakil rakyat dalam Demokrasi hanyalah lips servis semata. Karena kepentingan diatas segala, tanpa menimbang benar salah. Untuk itu ketika mindset pembentukan wakil rakyat masih saja menggunakan asas sekuler, tidak akan pernah ada wakil rakyat yang membela kepentingan rakyat.
Wakil Rakyat dalam Sistem Politik Islam
Islam sebagai agama yang sempurna dan paripurna membentuk sebuah struktur pemerintahan yang memiliki mekanisme kontroling kekuasaan yang jitu serta memiliki standart kebenaran yang jelas. Pada struktur sistem politik Islam terdapat sebuah lembaga negara dengan nama Majelis Ummat. Majelis Umat adalah struktur pemerintahan yang berperan sebagai penyambung lidah antara masyarakat dengan pemimpin (Khilafah). Akan tetapi, Majelis Ummat memiliki perbedaan mendasar dibandingkan dengan wakil rakyat (DPR) dalam sistem demokrasi.
- Majelis umat dibangun atas kesadaran aqidah Islam dan paradigma politik "meriayah urusan masyarakat"
- Majelis umat berperan mewadai keluhan masyarakat atas pelaksaan hukum syariat oleh Khalifah. Hukum hanyalah milik As Syari' atau pembuat hukum (Allah) semata, sehingga Majelis umat haram membuat undang undang atau hukum sebagaimana DPR.
- Majelis umat sebagai orang orang terbaik di dalam negara, menjadi rujukan Khalifah untuk memutuskan hal hal yang sifatnya rencana strategis atau tindakan teknis dan hal hal keilmuan
Berbagai tugas majelis umat dilakukan dengan penuh kesadaran atas penghambaan kepada Allah Subhanahu wataa'la ditegakkan oleh pemahaman Islam dalam 3 pilar negara yaitu individu, masyarakat, negara. Hal ini menggambarkan bahwa setiap individu dalam negara Islam harus memiliki ketaatan. Sehingga Majelis umat dibentuk oleh orang orang yang amanah, memahami konsep benar salah sehingga mampu menilai dengan baik pelaksaan syariat oleh negara. Masyarakt yang memiliki pemahaman Islam dengan alamiah akan mengoreksi kinerja penguasa sebagai bentuk amar ma;ruf nahi mungkar. Kemudian, negara juga harus menanggalkan Demokrasi kemudian berganti kepada sistem Islam. Sebab hanya Islam yang mampu menjalankan politik tanpa kepentingan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H