Jika kemarin-kemarin nama Dahlan Iskan dan Jokowi santer di bicarakan karena gebrakan dahsyatnya lewat aksinya yang banyak diliput media, kini ada satu nama lagi yang dari pribadinya kita bisa belajar. Pak Sarjoko namanya. Tidak terkenal memang, karena beliau bukan pejabat. Pak Sarjoko hanyalah bapak dengan bekerja sebagai tukang potong ayam. Tinggal di Kampung di Kelurahan Semanggi, Kecamatan Pasar Kliwon, Kota Surakarta. Lebih tepatnya di daerah Silir, derah yang di kenal sebagai 'tanahnya' prostitusi. Tapi itu dulu, kini, sebutan itu tak berlaku lagi.
Perubahan ini tak lain merupakan inisiatif pribadi dari Pak Sarjoko. Pak Sarjoko kecil acapkali di ledek oleh teman-temannya sebagai, 'anak silir'. Julukan yang berkonotasi negatif. Bahkan ledekan itu kini masih turun-temurun hingga ke anak-anak beliau. Gerah dengan ledekan tersebut, beliau akhirnya turun tangan. Sebagai putra asli kampung Silir, beliau getol selama puluhan tahun untuk mengadakan perubahan yang lebih baik di kampung halamannya tercinta. Hanya berbekal semangat dan niat yang membaja, Sarjoko pun memulai misinya. Bukan dengan ceramah atau kata-kata yang bernada menggurui, melainkan lewat tindakan nyata. DEngan kesabaran pula ia sambangi para pekerja seks komersial di Kampung Silir untuk mengajak mereka bergabung dengan kelompok belajar yang ia ciptakan bersama sang Istri, Natalis Pujiani.
Tentu saja bukan hal mudah. Karena banyak 'pihak' yang merasa di untungkan dengan keberadaan lokalisasi kampung Silir ini, ajakan Pak Sarjoko pun di anggap angin lalu. Tidak terhitung berapa banyak 'kerikil' yang mejadi hambatan perjuangannya. Ketika tengah malam banyak yang menggendor rumahnya bahkan melakukan tindakan tidak terpuji kepada beliau dan keluarga, sudah menjadi pemandangan biasa.
Tapi bukan Pak Sarjoko namanya jika menyerah begitu saja. Niat yang baik, Tindakan yang benar, Doa, serta dukungan keluarga sudah cukup memantapkan hatinya. Di masa-masa awal dia menjalankan misinya, bukan sekali dua dia didatangi preman yang mengancam agar menghentikan misinya. Tidak terhitung lagi berapa kali pintu rumahnya digedor orang di tengah malam. Tidak hanya preman, kecaman terhadap misi Sarjoko juga datang dari warga setempat. Bahkan, dia pun harus rela melepas jabatan sebagai sekretaris rukun warga (RW) karena didemo warga yang tidak setuju dengan upayanya itu.
Dengan membuka usaha kelompok belajar, Pak Sarjoko mengajak pelan-pelan para PSK untuk bergabung dengan kelompok belajar yang dibentuknya. Sembari menyelipkan nasihat kepada mereka untuk meninggalkan pekerjaan mereka tersebut. Bukan cuma waktu, tenaga, dan pikiran yang dicurahkan Sarjoko, melainkan juga harta. Beliau benar-benar totalitas dalam hal ini. Upaya Sarjoko mengentaskan PSK dari lembah hitam bukan setengah hati. Selain mengajarkan keterampilan, dia juga berlaku sebagai 'bapak'. Apa yang bisa dilakukan untuk membantu mengatasi kesulitan asuhannya, ia lakukan. Mulai dari menguruskan akta kelahiran untuk anak-anak mereka hingga menikahkan, sekalipun lebih sering melalui program nikah massal.
Ya kini Pak Sarjoko bisa tersenyum lega. Upayanya menuai hasil. Kampung Silir kini telah berbenah. Silir telah menjelma menjadi sebuah kawasan permukiman baru warga Solo yang di gemari. Namun, beliau menolak sebagai seorang yang berjasa dalam perubahan 'wajah' kampung Silir ini. seluruh jerih payah dan pengorbanan yang beliau keluarkan itu tanpa mengharapkan penghargaan apapun. tidak mengaharapkan pujian siapapun.
"Saya hanya ingin menjadi pribadi yang bermanfaat di sisa umur saya sekarang ," ujar beliau berkaca-kaca.
Sahabat kompasioner, dari Pak Sarjoko kita belajar, bahwa di dunia ini tidak satu dua orang saja yang 'berbuat' untuk perubahan. Mereka banyak. tanpa sorotan. tanpa bicara. tanpa janji. tanpa mengharapkan pamrih apapun. Terima Kasih Pak Sarjoko. Semoga akan banyak lahir "Sarjoko-Sarjoko" lainnya.
sumber gambar dari sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H