Lihat ke Halaman Asli

Riana Sari

Guru Fisika di SMAN 5 Kabupaten Tangerang

Kemuning

Diperbarui: 4 Juni 2023   22:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

KEMUNING

Semalam, aku memimpikannya datang ke dusun ini. Bila diingat-ingat, terakhir kali aku bertemu dengannya sekitar lima tahun lalu. Memimpikannya semalam membuatku teringat lagi padanya. Kangen juga.

Namanya Bhima Jumilang. Aku memanggilnya 'Mas', karena dia adalah anak sulung Pakde Jum. Pakde Jum sendiri adalah kakak tertua ayahku, sementara ayahku anak ragil dari lima bersaudara yang kelimanya laki-laki.

Pakde Jum merupakan satu-satunya putra Eyang yang merantau di Jakarta. Empat putra Eyang yang lain, Pakde Min, Pakde Dul, Pakde Sar, dan Ayahku memilih tinggal di dusun kecil di pelosok Gunung Kidul ini. Kami yang tinggal disini merasa sudah cukup makmur hidup dari hasil kebun dan berternak.  Dibalik perbukitan cadas ini, kami mencoba tetap bersyukur dengan segala yang telah diberikan Tuhan.

Didepan perapian yang diatasnya duduk sebuah kuali besar berisi sayur santan, aku menceritakan mimpiku pada Ibu. Ibuku yang tengah mengiris-iris bawang dan cabai itu mendengarkan saja dengan tenang.

"Mudah-mudahan saja itu pertanda tak lama lagi dia akan datang ke sini...." Ujar Ibu seraya mendorong beberapa kayu yang telah terbakar hampir separuh agar masuk ke dalam tungku perapian.

Mas Bhima sudah tiga tahun indekos di Kota Yogyakarta, kuliah di universitas negeri ternama, namun sekalipun belum pernah mengunjungi dusun ini. Padahal, tempat ini bisa dibilang tidak begitu jauh dari tempat Mas Bhima indekos. Namanya juga masih satu kota. Padahal, Pakde Jum sampai menyatakan, menitipkan Mas Bhima pada ayahku, supaya Mas Bhima ada yang mengawasi. Tapi, Komunikasi kami dan Mas Bhima hanya sebatas lewat telepon. Itu pun jarang sekali.

Lima tahun lalu, terakhir kali Mas Bhima datang ke sini pada saat mudik lebaran bersama orang tuanya dan Sita, adiknya semata wayang. Waktu itu, Mas Bhima masih kelas sebelas SMA. Tentu itu sudah lama sekali. Lebaran-lebaran berikutnya dia tidak pernah berkunjung lagi. 

Saat itu, keluarga Mas Bhima berpondok di rumahku. Yah, dibandingkan dengan rumah pakde-pakde yang lain, rumah ayahku yang tergolong paling modern. Lantai rumah kami sudah di keramik, meski dindingnya masih bilik. Tersedia juga tempat mandi, cuci, dan kakus yang cukup nyaman, meski pompa air harus menggunakan pipa-pipa panjang yang disambung untuk mencapai sumur yang terletak jauh di bawah lembah. Sumur-sumur itu juga kerap mengalami kekeringan, hingga kami terpaksa berjalan beberapa kilometer untuk mendapatkan air bersih.

Aku dan Mas Bhima cukup akrab. Usia kami tak terpaut jauh. Hanya selisih tiga tahun. Mas Bhima orang yang sangat baik. Dia mau mengajari aku banyak hal.

Kebiasaan kami setiap Mas Bhima pulang ke dusun ini adalah menonton 'pesta bintang',  demikianlah Sita, - adik Mas Bhima yang biasa kupanggil 'Mbak'- menyebut panorama langit malam yang terlihat luar biasa indah dari dusun ini. Meskipun Sita baru kelas tujuh SMP dan tentunya lebih muda dariku, aku tetap harus menyertakan 'Mbak' bila memanggilnya karena orang tuaku lebih muda dari orang tuanya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline