"Apa kau begitu ingin menikah?" ucap Ahmad dalam teleponnya.
"Apa maksudmu berkata seperti itu? Bukankah kau juga tahu kalau aku tidak tahu menahu perihal ini? Orang tua kita yang mengatur semuanya," Yanti terisak. Dadanya terasa sesak mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Ahmad sebelum dia memutus sambungan teleponnya.
Tepat satu bulan sebelum hari pernikahan yang sudah di tetapkan itu, Yanti memutuskan untuk pergi dari rumah. Setelah mendengar orang tuanya yang bertengkar lalu saat ingin mendapat sedikit dukungan dari calon suaminya, Yanti malah mendapat cercaan.
"Apa nggak apa-apa, Yan? Aku cuma nggak mau nanti bapakmu mengamuk di kosanku?" Mila duduk memunggungi Yanti yang terisak di atas tempat tidur.
"Malam ini aja, Mil. Cukup malam ini aja kamu kasih aku tempat." Suara isak tangis itu terdengar hingga seberang tembok. Mila hanya terdiam, dia tahu tidak akan ada tempat lagi untuk Yanti pergi.
"Kau akan pergi ke mana?"
Yanti menggeleng."Nggak tahu." Air matanya kembali menglir deras. "Aku cuma mau pergi. Itu aja."
Mila memeluk Yanti. "Tenangkan dirimu, ayo kita makan dan pikirkan rencana selanjutnya. "
Mereka berdua lalu pergi ke sebuah warung nasi tidak jauh dari kosan Mila. Di tempat itu mereka bertemu dengan Zulfa yang ternyata masih sepupu dari Ahmad, calon suami Yanti. Mila dan Zulfa sepakat untuk menyembunyikan Yanti sementara waktu, persiapan pernikahan sudah hampir 100% jadi tidak ada masalah jika calon pengantinnya menghilang.
"Lho? Bukannya calon pengantin adalah pemeran utamanya?" Yanti tidak begitu setuju dengan rencana mereka.