"Apa kamu yakin akan menikah dengan Faiz? Bukankah kalian baru bertemu setelah lima tahun. Kalian juga tidak pernah saling berkomunikasi?"
"Dia bilang masih menyukaiku meskipun telah lima tahun berlalu, Bu! Untuk apa lagi aku memikirkan hal lain. Bukankah Ibu terus-menerus memintaku menikah?" jawab Seruni santai sambil mengaduk kopi yang akan dia sajikan pada Faiz---calon suaminya.
"Kamu mencintainya?" bisik Yasmi takut tamu yang tengah berbincang di ruang tamu itu mendengarnya.
Seruni mengedikkan bahu. "Untuk apa? Nanti juga tumbuh sendiri seiring berjalannya waktu,"
"Kamu yakin, Ni?" Yasmi mengerutkan dahi---tidak yakin. "Pernikahan bukan untuk main-main, Ni. Ibu cuma khawatir sama kamu. Masa menikah cuma karena Ibu selalu bertanya kapan kamu nikah?"
Seruni membeku. Yasmi tampaknya membuat hati Seruni yang mantap tiba-tiba goyah. Gadis itu berlalu membawa nampan. Dua cangkir kopi untuk dua tamu; Faiz dan ayahnya. Mereka datang mengantarkan berkas. Pernikahan Seruni dan Faiz tinggal menghitung hari. Dan Seruni belum menyukai calon suaminya.
Selepas berbincang mengenai pernikahan mereka dengan Bapak, Seruni dan Faiz duduk di teras. Halaman luas dengan pohon nangka yang tengah berbuah jadi hiasan. Anak-anak hilir mudik mengayuh sepeda memecah keheningan sore itu.
"Kamu baik-baik aja, Ni?"
Seruni mengangguk. "Aku baik, Mas!"
"Tapi sepertinya kamu sedang memikirkan sesuatu. Apa boleh Mas tahu?"