Lihat ke Halaman Asli

Pilkada Serentak Akhiri Politik Dinasti di Negeri Demokrasi

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Jakarta,CNN Indonesia-- Sejak reformasi dan pemilihan langsung kepala daerah, satu hal yang umum terjadi adalah banyak sekali kepala daerah menjadi raja-raja kecil di daerahnya masing-masing. Kepala daerah “menurunkan” kekuasaannya kepada sanak famili mereka, baik itu atas dasar perkawinan atau hubungan darah. Dari modus politik itu, kemudian mereka membangun dinasti kekuasaan. Politik dinasti dapat diartikan sebagai sebuah kekuasaan politik  yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih terkait dalam hubungan keluarga. Dinasti politik bisa terjadi pada jabatan publik melalui mekanisme  suara rakyat  ketika proses penunjukan kader dari partai politik.  Pejabat yang sedang berkuasa dan tentu melalui partai politik  bisa jadi mencalonkan adik, anak, menantu, ipar untuk di jadikan kepala daerah.  Kewenangan ini ada di hati nurani Pejabat tersebut apakah saudara saudaranya itu mempunyai kemampuan profesional untuk dipilih menjadi Kepala Daerah. Apabila penunjukan calon itu lebih kental karena kekarabatan dengan mengabaikan komptensi maka inilah pola dinasti salah kaprah. Kemudian dalam proses pemilihan suara bermain lagi dengan money politik.

Hal-Hal Yang Mengakibatkan Munculnya Dinasti Politik Adalah:

·Adanya keinginan Dalam diri atau pun keluarga untuk memegang kekuasaan.

·Adanya kelompok terorganisir karena kesepakatan dan kebersamaan Dalam kelompok sehingga terbentuklah penguasa kelompok dan pengikut kelompok.

·Adanya kolaborasi antara penguasa dan Pengusaha untuk mengabungkan kekuatan modal dengan kekuatan Politisi.

·Adanya Pembagian tugas antara kekuasaan politik dengan kekuasaaan Modal Sehingga Mengakibatkan terjadinya KORUPSI

Contoh Fenomena Politik Dinasti di Indonesia

Gubernur Banten, Atut Chosiyah baru-baru ini muncul lagi menjadi buah bibir tentang dinasti keluarga. Dinasti politik keluarga ini dibangun sejak lama, seperti mencengkeram kekuatan pemerintahan di Banten. Keluarga Atut mendominasi peta politik, eksekutif maupun legislatif di Banten dan daerah kabupaten/kota di provinsi itu. Anak pertama Atut, Andhika Hazrumy, kini berstatus anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), mencalonkan diri menjadi anggota DPR RI dari Partai Golkar. Dia terdaftar nomor urut 1 di daerah pemilihan Banten 1 (Lebak dan Pandeglang). Adiknya, Andiara Aprilia Hikmat calon DPD urutan ke-9. Istri Andhika Hazrumy, Adde Rosi Khoerunnisa menjabat wakil ketua DPRD Kota Serang, terdaftar sebagai caleg DPRD Provinsi Banten nomor urut 1 dari Golkar. Suami Andiara Aprilia Hikmat, Tanto Warbono Arban, caleg DPRD Provinsi Banten dari dapil Kota Tangsel. Semua anak dan menantu Atut mendapat nomor urut 1 di Partai Golkar.

Ada pun suami Atut, Hikmat Tomet, kembali mencalonkan diri ke DPR dengan nomor urut 1 dari dapil Banten 2 (Kabupaten Serang, Kota Serang, dan Kota Cilegon). Sekarang, Ketua Partai Golkar Banten ini merupakan anggota DPR dari Komisi V DPR. Kemudian, adik kandung Atut, Ratu Tatu Chasanah kini menjabat Wakil Bupati Serang. Kakak tiri Atut, Wali Kota Serang Tb Haerul Jaman. Kakak Ipar Atut Wali Kota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany, dan anak tiri Wakil Bupati Pandeglang Heryani.

Tidak hanya itu mantan Bupati Bangkalan Fuad Amin Imron yang telah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pembelian gas alam.KPK mengindikasikan bahwa anaknya, Makmun Ibnu Fuad adalah bagian dari penerima uang terkait kasus yang membelit sang bapak. Makmun Ibnu Fuad adalah Bupati Bangkalan 2014-2019. Dia menggantikan bapaknya yang jadi bupati Bangkalan dua periode, yakni 2003-2008 dan kemudian 2008-2013. Kini Fuad adalah Ketua DPRD Bangkalan 2014-2019. Atau kasus yang menimpa Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah. Dia telah divonis 4 tahun kasus suap Pilkada Lebak. Dalam kasus ini dia juga menyeret adiknya Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan. Istri Wawan, Wali Kota Tangerang Selatan (Tangsel) Airin Rachmy Diani kini tengah diperiksa Kejaksaan Agung terkait proyek pembangunan puskemas di Tangsel. Wawan telah ditetapkan Kejaksaan Agung sebagai tersangka terkait proyek pembangunan puskesmas di Tangsel.

Dinasti politik harus dilarang dengan tegas, karena jika makin maraknya praktek ini di berbagai pilkada dan pemilu legislatif, maka proses rekrutmen dan kaderisasi di partai politik tidak berjalan atau macet. Jika kuasa para dinasti di sejumlah daerah bertambah besar, maka akan kian marak korupsi sumber daya alam dan lingkungan, kebocoran sumber-sumber pendapatan daerah, serta penyalahgunaan APBD dan APBN. (AG Paulus, Purwokerto). Dengan Politik Dinasti membuat orang yang tidak kompeten memiliki kekuasaan. Tapi hal sebaliknya pun bisa terjadi, dimana orang yang kompeten menjadi tidak dipakai karena alasan bukan keluarga cita-cita kenegaraan menjadi tidak terealisasikan karena pemimpin atau pejabat negara tidak mempunyai kapabilitas dalam menjalankan tugas. Dinasti politik bukanlah sistem yang tepat unrtuk diterapkan di Negara kita Indonesia, sebab negara Indonesia bukanlah negara dengan sistem pemerintahan monarki yang memilih pemimpin berdasarkan garis keturunan. Tampaknya, dinasti kekuasaan di daerah bakal berakhir saat Pilkada serentak yang akan digelar pada 9 Desember 2015. Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah membuat rancangan peraturan pilkada serentak yang tengah dibahas di Komisi II DPR.Dalam Rancangan Peraturan KPU tentang Pilkada serentak, pada bagian Pencalonan Pemilihan Gubenur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota, pada Bab II Persyaratan Calon dan Pencalonan, Bagian Kesatu soal Persyaratan Calon, Pasal 4 ayat 1 huruf q berbunyi: tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahan (incumbent). Konflik kepentingan itu kemudian dijabarkan pada ayat 8 dan 9. Pada ayat 8 disebutkan, (a) tidak memiliki ikatan perkawinan dengan petahana, baik suami maupun istri, (b) tidak memiliki hubungan darah/garis keturunan satu tingkat lurus ke atas, yaitu bapak/ibu atatu bapak mertua/ibu mertua dengan petahana, (c) tidak memiliki hubungan darah/garis keturunan satu tingkat lurus ke bawah, yaitu anak atau menantu dengan petahanan (d) tidak memiliki hubungan darah/garis keturunan ke samping, yaitu kakak/adik kandung, ipar, paman atau bibi dengan petahana. Sementara pada ayat 9, menjelaskan hal yang sama, namun untuk calon wakil, baik itu wakil gubernur, wakil bupati atau wakil wali kota. Tetapi, persyaratan itu tidak berlaku jika telah melewati jeda satu kali masa jabatan. Artinya, selalu harus ada jeda satu masa jabatan, jika petahana ingin keluarganya maju menjadi calon kepala daerah atau wakil kepala daerah. Jika kepala daerah itu sudah dua periode, maka dia harus menunggu satu kali masa jabatan sebelum sanak famili nya ingin maju menjadi calon kepala daerah atau wakil kepala daerah. "Pengaturan calon tidak mempunyai konflik kepentingan dengan petahana satu periode masa jabatan diatur dalam UU. Kami menegaskan lagi ketentuan tersebut dalam PKPU (Peraturan KPU)," ujar Komisioner KPU Ida Budhiarti dalam pesan singkat kepada CNN Indonesia, Senin (20/4). Ida menambahkan, aturan soal ini akan diterapkan dalam Pilkada serentak nanti. "Kecuali nanti terdapat koreksi dari MK yang saat ini sedang melakukan pemeriksaan perkara atas permohonan uji materi beberapa ketentua syarat calon yang diatur dalam UU," lanjutnya. Saat ini, KPU tengah melakukan rapat konsultasi dengan Panja Komisi II di Hotel Aryaduta. Rapat konsultasi ini, terang Ida, adalah melakukan konfirmasi pada pembentuk Undang-Undang (Pemerintah dan DPR) terkait beberapa isu strategis yang diatur dalam Undang-Undang. Hasil konsultasi, ungkapnya, menjadi bahan pertimbangan KPU dalam menetapkan peraturan. "Dengan metode ini, KPU tetap terjaga independensi dan integritasnya," jelas Ida.  Rancangan aturan KPU soal Pilkada serentak ini adalah turunan dari UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Wali Kota dan Bupati. Soal petahanan dan keluarganya, telah diatur di Pasal 7 huruf (r) yang berbunyi: (calon kepala daerah/wakil kepala daerah) tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana. Penjelasan soal konflik kepentingan itu sama persis dengan penjelasan yang ada dalam rancangan peraturan KPU soal Pikada serentak. Ini dinilai cara untuk mengakhiri dinasti kekuasaan di daerah-daerah di Indonesia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline