Seorang ibu adalah sosok terhebat, terpintar dan ter-segalanya bagi putrinya. Namun penilaian itu akan sedikit bergeser ketika anak menginjak dewasa. Ketika realitas kehidupan berbicara lain pada zamannya.
Kata-kata ibuku adalah titah, perintah, yang tidak boleh dibantah, kalau tidak ingin membuat ibu marah. Karena ketika ibu marah, maka sebuah cubitan di lengan akan meninggalkan bekas memerah.
Aku sangat takut dan tidak ingin merasakan sakit itu, tetapi bukan berarti semua kata-kata ibu ku patuhi.Dalam diam ku, hanya menunggu waktu menuju usia dewasa agar bisa melakukan apa yang ku mau, yang ku suka.
"Nanti kalau sudah dewasa, kamu boleh memilih jalan hidupmu sendiri!" itu kata ibuku, yang ku artikan sebagai janji, yang harus ditepati.
Lalu, sejak menanjak remaja, aku mulai merasakan pertentangan nila -nilai yang ibu tanamkan berbeda dengan yang ku alami di dunia nyata.
Segalanya telah berubah, ibu bukan lagi segalanya bagiku. Bukan tokoh yang serba tahu dan paling pintar seperti anggapanku di masa kanak-kanak.
Mungkin memang ibu adalah perempuan paling pintar di desa kami, di zaman itu. Ia satu-satunya perempuan yang sekolah pendidikan guru di kota provinsi. Lalu secara otomatis mendapatkan ikatan dinas, menjadi pegawai negeri sipil. Menjadi kebanggaan keluarga besar dan dihormati oleh masyarakat sekitar.
Namun di kampus, aku menemukan ibu-ibu lain yang lebih genius, mereka orang -orang yang membuatku sadar, menjadi pegawai negeri di desa bukanlah hal yang istimewa. Perempuan juga bisa menjadi apa saja. Banyak pilihan sesuai minat kita.
Meskipun begitu, toh ibu masih menuntut ku untuk mematuhi perintah nya.Untuk kembali ke desa ketika aku sudah sarjana.
Tidak!