"Fatimah!"
Tubuh tinggi semampai bergaun biru dengan rambut sebahu yang berkibar tertiup angin itu tak merespon panggilanku. Ia masih diam terpaku di depan Klenteng Hok Tjing Rio. Matanya nanar ke arah permukaan sungai Musi yang beriak keperakan memantulkan sinar matahari pagi.
"Fatimah!"
Aku mengambil jarak semakin dekat. Tidak salah lagi, dia memang Fatimah yang selama ini aku cari.
"Fa ... Fatimah, ini aku!"
"Maaf, saya Michelle Liong. Mungkin Anda salah orang?"
Gugup aku meminta maaf padanya. Lalu kami terlibat obrolan panjang untuk menghilangkan kekikukan di antara kami berdua.
Gadis itu berasal dari Jakarta. Ia sudah seminggu di pulau Kemaro yang berada di tengah sungai Musi, enam kilometer dari Jembatan Ampera Palembang. Berbeda denganku yang sudah lama sekali jadi penghuni pulau ini, ia baru datang ke sini atas kemauan kekasihnya, Melvin.
Mereka berencana menikah tahun ini, bertepatan dengan perayaan Imlek dan Cap Go Meh. Mereka ingin mengadakan private party yang dihadiri oleh keluarga mereka berdua yang kebetulan hanya berkumpul saat Imlek tiba.
Sepasang kekasih itu tak menyangka, jika impian indahnya akan kandas. Popo Lie Las Nio, nenek Michelle, juga keluarga besar Melvin yang masih memegang teguh ajaran para leluhur, melarang mereka menikah. Michelle yang bershio naga dipercayai tidak akan berjodoh dengan Melvin yang bershio kerbau.
Jika shio naga dipaksakan menikah dengan shio kerbau, maka pernikahan mereka akan menuai bencana, alih-alih berkah dan kemakmuran yang didapatkan.