Tumben amat nyamuk banyak banget. Bisa-bisa kurus kering nih kalau gini. Angin juga tumben kenceng amat. Nyesel tadi nggak pake jaket.
"Mon, beli lotion obat nyamuk, gih! Kampret banget nih nyamuk. Sekalian beli kopi di warkop. Gue tanggung nih lagi push rank. Pete-pete ye?" Aku pun mengangsurkan selembar uang sepuluh ribuan ke tangan Remon yang dengan mata masih tertuju ke gawai, bangun dan bergegas ke warkop di depan Masjid Darussalam.
"Mon, tunggu! Gue ikutan!" Putra bergegas bangkit dan menjajari langkah Remon, meninggalkanku sendirian di pangkalan ojek komplek sebelah.
Aku kembali menekuri game Mobile Legend. Kami sering nongkrong di sini, nyaris setiap malam untuk mabar, main bareng game kesukaan kami. Terkadang beberapa teman perempuan kami juga bergabung, terutama di malam Minggu.
Angin semakin kencang bertiup dan Remon belum kelihatan batang hidungnya. Tiba-tiba bau bunga kamboja menguar begitu kuat. Reflek aku melirik ke arah kanan, kuntum-kuntum berwarna kuning terlihat berserakan, mungkin dijatuhkan angin yang bertiup barusan.
"Ammar!"
Sebuah suara tiba-tiba memanggil dari sebelah kananku, bersamaan dengan tepukan dingin di tengkuk. Aku terlonjak seperti tersengat listrik. Gawai yang sedari tadi aku pegang terlempar.
"Nih, hape lo. Makanya kalau main jangan sambil ngelamun." Sosok seorang gadis berkuncir kuda mendadak sudah duduk di kursi kayu dan mengulurkan benda kotak berwarna hitam yang masih meneriakkan kata-kata "Enemy has been slain!"
"Sue, lu, Na. Ngagetin aja." Kaget campur senang, aku meraih gawai dari tangan Nana. Anak komplek yang setiap malam Minggu hampir tak pernah absen mabar bersama kami. Dia cantik, tinggi semampai, gamer, tapi kabarnya selalu meraih peringkat di sekolahnya. Pokoknya cewek idaman banget.
"Lu kemana aja, Na. Kok nggak pernah nongol?"