Lihat ke Halaman Asli

Umi Sakdiyah Sodwijo

Pengelana kata yang riang gembira

Salim Kancil, Kebenaran Hakiki Vs Kebenaran Rupiah

Diperbarui: 22 Oktober 2015   13:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Membaca berita tentang musibah yang dialami Salim Kancil, saya sangat prihatin. Prihatin dan sangat merasakan apa yang dialami mereka, para pejuang kebenaran. Pejuang kebenaran yang dikalahkan oleh kebenaran lain yang dianut sang Raja Rimba.

Salim Kancil, seperti namanya hanyalah wong cilik yang berani menyuarakan kepentingannya sebagai orang terpinggirkan. Apa sih yang dituntut orang kecil seperti Salim dan saya, hanya bisa makan kenyang sehari tiga kali, hidup tenang, anak-anak bisa sekolah, bisa berobat gratis di puskesmas dengan dokter yang ramah, udah itu saja, persis seperti harapan sebagian masyarakat kecil di republik ini.

Tapi kenapa hanya menyuarakan kebutuhan akan sepiring nasi harus dibunuh oleh cakar-cakar tajam sang Raja Rimba yang tak pernah merasa kenyang kalau belum yakin anak keturunan ke delapan bisa berpesta pora? Itulah yang namanya keserakahan, nafsu akan uang dan kekuasaan yang tak pernah terpuaskan sepanjang jaman.

Kancil hanyalah binatang kecil yang cerdas, yang tak mau dibodohi para penguasa kejam. Ia hanya berusaha menyuarakan hati nurani dan harkat martabatnya sebagai warga hutan yang harus dihormati dan dijungjung tinggi oleh Singa. Toh setiap lima tahun sekali dia selalu dipuja dan dielu-elukan sebagai warga hutan tercerdas, yang suaranya sangat dibutuhkan.

Mirip seperti Kancil yang hidup di rimba raya, nasib saya dan beberapa tetangga tak jauh berbeda. Kami, yang merasa selalu teraniaya dan diinjak-injak harkat dan martabatnya sebagai warga sebuah komplek di Republik koplak, yang selalu dihina dan diinjak-injak oleh seorang warga terhormat merasa perlu untuk bangkit melawan dan menyuarakan aspirasi kami.

Kami pun sepakat untuk membuat surat permohonan perlindungan hukum yang ditujukan kepada aparat RT, RW, Kelurahan dan juga Polsek Republik Koplak. Tidak tanggung-tanggung, warga yang menandatanganinya pun lumayan banyak. Cukup untuk mewakli aspirasi rakyat. Lalu kami pun merasa tenang, kembali ke aktivitas semula. Kami merasa semua akan beres karena para petinggi dan pelindung hukum pasti akan melindungi kami.

Tapi apa yang terjadi? Surat permohonan perlindungan hukum itu justru menjadi bumerang bagi kami. Kami yang memohon perlindungan hukum, tapi kami yang satu persatu dipanggil oleh aparat hukum. Kami warga kecil, wong cilik yang tidak tahu menahu tentang hukum, tentu merasa ketakutan, resah, dan direpotkan dengan tetek bengek urusan hukum yang hampir setahun ini tidak kunjung selesai. Kami dipanggil dengan tuduhan telah melakukan pasal 310 penghinaan. Ya memang untuk sementara ini status kami masih saksi, tapi sudah menjadi rahasia umum kalau praktek hukum di Republik Koplak yang saya tinggali memang aneh dan jungkikr balik.

Mungkin kalau kami orang kaya, kami akan menyewa pengacara hebat atau membayar aparat hukum, hakim, jaksa dan lainnya untuk melindungi kami. Tapi apa daya yang kami miliki hanya hati nurani dan kejujuran. Benarlah kata eyang Ronggowarsito, jamane jaman edan yen ora edan ora keduman. Jaman udah edan, orang-orang berlomba-lomba menjadi edan agar kebagian.

Yang jadi pertanyaan adalah, kenapa para punggawa yang seharusnya melindungi kami sebagai warga negara justru malah dengan sengaja menjerumuskan kami? Ah, kami hanyalah sekelompok kancil yang tak berdaya. Kami hanya bisa berdoa dengan keyakinan bahwa kebenaran Tuhan akan tetap membela kami.

Selamat jalan Salim Kancil, darahmu tidak idak tertumpah tsia-sia. Kami para kancil akan meneruskan perjuanganmu.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline