Lihat ke Halaman Asli

Hazairin Seorang yang Agamis dan Indonesianis

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hazairin merupakan seorang ahli hukum Islam sekaligus hukum adat pertama dari kalangan putra Indonesia, ia termasuk salah seorang nasionalis dan intelektual muslim Indonesia yang berpendidikan barat (Belanda). Nama lengkap Hazairin adalah Prof.Dr. Hazairin Gelar Pangeran Alamsyah Harahap, SH. Gelar kehormatan akademik adalah "Profesor" diberikan oleh Senat Guru Besar Universitas Indonesia atas prestasinya di kedua bidang yakni hukum Islam dan hukum Adat, dengan keahlian Guru Besar Hukum Adat dan Hukum Islam pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, penganugerahan Profesor diberikan padanya tahun 1952. Sedangkan gelar "Gelar Pangeran Alamsyah Harahap" diberikan atas jasanya yang peduli terhadap adat istiadat Tapanuli Selatan, ketika ia ditugaskan pemerintah Hindia Belanda di Pengadilan Negeri Padangsidempuan dengan tugas tambahan sebagai peneliti hukum adat disana.

Hazairin di lahirkan di Bukittinggi, Sumatera Barat , pada tanggal 28 Nopember 1906. Hazairin berketurunan atau berdarah Persia. Ayahnya bernama Zakaria Bahar, seorang guru, berasal dari Bengkulu. Kakeknya bernama Ahmad Bakar, seorang mubaligh terkenal pada zamannya. Ibunya berasal dari Minangkabau, etnis yang terkenal taat pada ajaran agama Islam. Itulah sebabnya sejak kecil Hazairin tumbuh dalam lingkungan yang penuh dengan bimbingan keagamaan, terutama dari kakeknya sendiri. Pendidikan agama inilah yang membentuk sikap keagamaannya yang demikian kuat dalam menempuh perjalanan karier dan hidupnya serta mewarnai pemikirannya meskipun secara formal ia banyak menuntut ilmu di lembaga pendidikan Hindia Belanda.

Dari Agustus 1953 sampai dengan Oktober 1945, ia diangkat menjadi menteri Dalam Negeri dalam kabinet Ali Sastroamidjojo-Wongsosuseno-Muhammad Roem. Setelah berhenti senagai menteri, ia diangkat sebagai pejabat tinggi yang diperbantukan pada Kementerian Kehakiman (hingga 1959) dan Kementerian Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan sebagai guru besar ilmu hukum di berbagai Perguruan Tinggi.

Ketokohan Hazairin dalam bidang politik , pada masa pendudukan / fasismen Jepang 1945, Hazairin pernah menjadi Anggota Gerakan Bawah Tanah, suatu organisasi rahasia di kalangan pemuda pergerakan yang bertujuan mengusir penjajah dari tanah air, anggotanya baik terdiri dari para pemuda, baik yang bergabung dalam PETA (Pembela Tanah Air) ataupun bukan. Pada masa perang kemerdekaan 1945 sampai 1949 Hazairin bergabung dengan Tentara Pelajar. Setelah tidak menjadi Menteri lagi, Hazairin memutuskan diri untuk mundur dalam kancah dunia perpolitikan praktis, ia mengabdikan seluruh hidupnya untuk dunia ilmu,sebagai guru besar hukum Adat dan Hukum Islam.

Hazairin wafat pada 12 Desember 1975 di Jakarta.Hazairin dapat digolongan salah seorang tokoh moderat, denganmelihat bahwa hukum itu harus berlandaskan Al Qur'an dan Haditsuntuk dipahami berdasarkan kaidah ijtihad dan mengandalkannalar.Ia mengusulkan agar bebas madzhab. Fiqh klasik (AhluSunnah Wal Jamaah) dan hukum adat di Indoensia, berkat ijtihaddapat dilaksanakan unuytk masa kekiniaan.Hazairin membuktikan dirinya sebagai seorang yang agamis dan Indonesianis.

Tema pemikiran Hazairin tentang hukum Islam adalah "Fiqh Mazhab Nasional", yang intinya adalah perlunya menyatukan nilai-nilai adat dengan hukum Islam. Menurut Hazairin, persoalan yang dihadapi umat Islam Indonesia adalah masalah hukum yang eksistensinya masih dicari-cari tempatnya di dalam masyarakat. Pintu ijtihad yang selalu terbuka menjadi dasar pemikirannya untuk mengkonstruksi mazhab baru yang lebih sesuai dengan masyarakat Indonesia. Mazhab Syafi'i harus dikembangkan, sehingga mampu menjadi solusi bagi persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat. Pengembangan mazhab Syafi'i menjadi titik awal dari terwujudnya fiqh mazhab nasional.Alasannya adalah, karena mazhab Syafi'i telah lama berakar di Indonesia, sehingga karakternya dianggap pararel dengan nilai-nilai adat Indonesia.

Ide Hazairin dapat dianggap sebagai pengembangan dari gagasan Hasbie. Pandangan keduanya bermuara pada kesamaan pemikiran tentang posisi hukum adat sebagai bahan pertimbangan utama dalam pembentukkan hukum Islam di Indonesia.Tujuannya adalah untuk menyatukan norma-norma yang berasal dari adat maupun dari hukum Islam kedalam satu entitas hukum.Sehingga tidak ada lagi dikotomi antara hukum adat dan hukum Islam dalam realitas hukum yang berlaku di masyarakat, karena hukum yang dipraktikan adalah aturan atau kebiasaan masyarakat yang sudah diadaptasikan dengan ajaran Islam. Hal ini akan memberikan kenyamanan bagi masyarakat muslim dalam beragama dan bermasyarakat.

Gagasan Hazairin ini dituangkan dalam ijtihadnya tentang sistem kewarisan Islam.Menurutnya, konsep hukum waris Islam yang dikemukakan oleh para ulama menganut sistem patrilineal. Hal ini sangat dipengaruhi oleh konstruksi budaya arab. Bagi Hazairin, esensi hukum waris Islam dalam al-Qur'an adalah bilateral, yakni menarik harta dari pihak ayah dan ibu. Dasar pemikirannya adalah penelitian terhadap ayat-ayat al-Qur'an tentang waris dan fenomena perkawinan Ali dan Fatimah yang disebut eksogami, hal yang tak lazim dilakukan oleh orang arab waktu itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline