Lihat ke Halaman Asli

Marfa Umi

Blogger

Anak Muda Memang Harus Ngeyel

Diperbarui: 27 Juli 2023   14:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber gambar: Variety

Awal bulan Juni lalu saya menonton Spider-Man: Across the Universe yang merupakan lanjutan dari film pendahulunya, Spider-Man: Into the Spider-Verse. Film tersebut merupakan kelanjutan kisah dari seorang remaja bernama Miles Morales pasca digigit laba-laba radioaktif yang mengantarkannya ke takdir menjadi sosok Spider-Man.

Sayangnya perjalanan sebagai sosok Spider-Man ini cukup pelik karena bukan menghadapi musuh-musuh di mana ia tinggal, melainkan urusan multisemesta. Ia sebagai Spider-Man berbeda dengan Spider-Man versi lainnya karena merupakan sebuah anomali. Sedikit spoiler, ia diperlihatkan bagaimana sosok Spider-Man menjalani hidupnya dan ada satu titik kesamaan di mana ia harus kehilangan orang terdekatnya.

Miles marah dan tak setuju harus menjalani "takdir" yang seperti itu kendati para Spider-Man senior telah menasihati dan memberi tahu jika dunia yang ia tinggali akan runtuh jika tetap ngeyel. Miles kemudian memilih jalan sendiri dengan melihat kemungkinan dan melakukan usaha, ia memilih untuk tak ingin didikte. Barangkali ada celah, barang kali ada solusi, ia percaya karena sejak menjadi sosok Spider-man merupakan sebuah anomali. Suatu keadaan di mana Miles terkena gigit laba-laba yang bukan berasal dari semestanya. Jalan cerita Spider-Man yang seharusnya terjadi tersebut (canon event), bisa jadi tak perlu terjadi padanya.

Menonton adegan tersebut di usia dewasa ini otomatis teringat masa-masa yang lebih muda dari pada saat ini (meskipun saat ini sebetulnya masih muda juga sih). Masa-masa di mana idealis mampus sedang terjadi, masa yang sangat penasaran hingga begitu berani dan tak takut jika hal-hal yang tak menyenangkan terjadi karena dapat menjadi bekal pembelajaran. 

Berbeda sekali dengan keadaan saat ini di mana lebih penuh perhitungan ketika akan mengerjakan sesuatu atas dorongan impulsif, kendati pun telah mengalami banyak kegagalan. Sepertinya memori mengenai kegagalan ini tak selalu menantang, justru menjadi pertimbangan yang cukup lama. Terkadang, saya rindu melakukan hal-hal yang random namun dengan perasaan yang penuh. Bukan artinya sekarang tak menikmati, justru telah beralih karena memang sebaiknya hidup sesuai dengan fasenya saja namun tetap menghidupkan hidup.

Menjadi dewasa muda di mana di titik usia yang konon bagian otak bernama prefrontal-cortex telah berkembang sempurna, rasanya tiap harinya tubuh mengalami dua keadaan. Yang pertama, merasakan segala spektrum perasaan manusia, dan yang kedua mempehatikan kondisi sendiri yang sedang memproses perasaan tersebut. Awalnya aneh karena jadi tak lagi merasakan senang maupun sedih secara penuh, seperti ketika usia-usia lebih muda. Namun di sisi lain seperti orang lain yang mengamati diri sendiri, jadi lebih netral dalam merasakan sehingga tak terlalu merasa menderita ketika sedang bersedih. Kemudian, dalam menghadapi hal-hal yang kurang menyenangkan akan lebih obyektif dan berfokus pada solusi, bukan berkubang dalam keadaan denial

Wow, lyfe.

Namun saya rasa, tiap anak manusia memang harus menemukan kegagalannya tersendiri, bertemu dengan canon eventnya sendiri yang akan terasa begitu personal. Titik yang dapat membuat lubang besar bernama kedukaan ini juga sekaligus dapat menjadi titik alasan yang besar untuk tetap melanjutkan hidup. Tak selalu sepenuhnya sembuh memang, rasanya masih ada, dan mungkin akan membuat kita melakukan hal-hal yang tak pernah kita pikir sebelumnya. Namun tunggu sebentar, bukankah itu hal yang paling normal dan paling manusia? Dari banyaknya kemungkinan atau what ifs yang tak kita ambil atau tak kita pilih, kita tak akan pernah tahu. Mungkin butuh beberapa waktu untuk akhirnya mengerti bahwa hal-hal selalu datang serangkaian, baik-buruknya, nyaman atau bagian menyakitkannya.

Anak muda memang harus ngeyel dan jika di masa mendatang jawabannya adalah tidak-maka ia sendiri yang belajar dari kesalahannya. Anak muda memang harus merasakan konsekuensi dari perilaku ngeyel tersebut agar menjadi manusia yang lebih bijak di masa depan. Anak muda memang harus merasakan sendiri bahwa petuah dari orang yang lebih tua dulu ada beberapa benarnya, namun perjalanannya sendiri setidaknya unik dan membekas karena dari pengalaman keseluruhannya sendiri. Anak muda memang harus ngeyel agar di masa mendatang dengan waktu dan kesempatan yang lebih sedikit, tak menyesal karena tak pernah mencoba dan tak pernah mengetahui jawabannya.

***

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline