Nobar KMGP di Palembang (instidy.com)
Saya pecinta biru. Semua hal tentang biru. Laut dan langit diantaranya. Mimpi saya memiliki istana biru. Sebuah ruang yang membuat saya bahagia, yang nyatanya hanya ada di imejinasi. Di buku, di tas, di biodata, di disket, di lemari, di setiap sudut kamar, di semua barang-barang saya tertulis ‘istana biru’, pun password email pertama saya. Saya menampung semua tawa, pilu, cemburu, marah, harapan, keinginan, obsesi, dan semua rasa pada ruang itu. Istana biru hidup saya, seorang remaja SMA dengan sederet kisahnya.
***
“Ni cocok untukmu!” Mata saya yang terkantuk-kantuk tiba-tiba diajak awas. Mendongakkan kepala kearah suara. Mengenali sosok itu. Ia kakak tingkat saya yang tengah menyodorkan sebuah buku. “Dari pada ngantuk nungguin dosen, mending baca buku,” katanya lagi.
Penghujung Agustus 2002, saya berstatus mahasiswi semester 3 IAIN Raden Fatah. Sejak pagi menyingsing, saya telah ikut riuh di ruang dosen guna mengurus kartu rencana studi (KRS). Sayangnya, dosen pembimbing yang akan menandatangai persetujuan KRS hingga hari telah terik belum juga datang.
“Ketika Mas Gagah Pergi,” lamat saya membaca judul yang tertulis di cover depan buku. Selanjutnya sayapun tenggelam di arus kisahnya. Satu… dua… tiga… empat… dan terus dengan begitu saja bulir-bulir bening meluncur deras dari kedua mata saya. Hingga saya tak kuasa menahan untuk tidak menangkupkan tangan ke muka. Lamat-lamat, isakan membuat bahu saya berguncang. Entahlah, ada sebuah sesal yang seketika menggelayuti jiwa.
Ini bukan tentang Gita. Adik manis yang akhirnya memahami perubahan sang kakak. Bukan itu yang menyesakkan dada saya. Saya sadar ini hanya fiksi. Hanya rekayasa sang pengarang. Sesal itu milik saya. Saya yang baru tersadar setelah sekian lama Bapak mengajarkan kehormatan perempuan dengan berhijab. Bapak yang sedari saya gadis kecil telah membiasakan saya menutup aurat. Tapi, semua yang diupayakan Bapak saya nilai sebagai keegoisan orang tua.
Sungguh, Gita telah menjadi cermin buat saya. Meski terkadang kesadaran itu terlambat, namun sejatinya hidayah Allah punya cara sendiri menemukan hati kita.
Ujung jilbab yang saya kenakanlah yang menjadi penyeka agar tangis ini tak menjadi sedih berhari-hari. Sejenak, nafas saya tertahan. Mencoba menerima semua dengan lebih bijaksana. Harusnya saya bersyukur memiliki orang tua yang peduli terhadap akhlaq putrinya. Maka, sebelum semua terlambat, harus ada yang saya perbuat.
Adzan dzhuhur memenuhi langit di siang itu. Tatapan saya terpaku pada hamparan rumput lapangan bola di depan gedung fakultas. Buku pinjaman tadi tergeletak di samping saya duduk. “KeberIslaman saya masih tertatih-tatih. Ibadah saya jauh dari sempurna. Tapi kini, saya ingin berjilbab dengan sebuah kebanggaan. Bahwa saya seorang muslimah. Dan semoga jilbab ini yang menuntun saya menjadi perempuan sholehah. Anak berbakti yang begitu diharapkan orang tua,” lirih saya berucap janji untuk diri sendiri.
Masjid kampus yang hanya berkelang dua bangunan dari tempat saya duduk, dengan mudah terlihat. Di masa aktif kuliah, masjid menjadi tempat yang selalu ramai. Selekasnya, sayapun melangkah menuju ke sana.