Mengikhlaskan Cinta Karena Allah
Pagi itu, Aisyah duduk termenung di tepi jendela kamarnya yang menghadap ke taman kecil di rumahnya. Matahari baru saja naik, menyiramkan sinar keemasan yang hangat di atas dedaunan yang masih basah oleh embun. Namun, hatinya terasa beku. Ada badai yang bergejolak di dalam dirinya, sesuatu yang tak kunjung ia pahami sepenuhnya.
Dia mencintai seorang lelaki bernama Fathan. Sudah bertahun-tahun rasa itu ia simpan dalam hati, seperti rahasia yang hanya diketahui oleh dirinya dan Allah. Fathan adalah lelaki yang baik, seorang pemuda yang taat, rendah hati, dan selalu menjaga akhlaknya. Ia selalu hadir di pengajian, selalu mendahulukan ibadah, dan selalu memperhatikan sesama. Aisyah mengagumi semua itu, dan tanpa ia sadari, kekaguman itu berubah menjadi cinta.
Namun, beberapa hari lalu, kabar itu datang. Fathan akan menikah. Bukan dengannya, tetapi dengan perempuan lain. Hatinya retak. Ia tidak tahu bagaimana harus menerima kenyataan ini. Aisyah tahu, mencintai seseorang berarti menginginkan kebaikan untuknya, bahkan jika kebaikan itu bukan bersamanya. Tapi, mengucapkan hal itu jauh lebih mudah daripada melakukannya.
Aisyah menarik napas panjang, mencoba menenangkan hatinya. Ia membuka Al-Qur'an di hadapannya, mencari kekuatan dari ayat-ayat Allah. Di sana, ia menemukan firman-Nya: "Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui" (QS. Al-Baqarah: 216).
Air matanya tumpah. Ia sadar, cinta yang ia rasakan harus ia letakkan pada tempat yang benar. Cinta kepada manusia tidak boleh mengalahkan cinta kepada Allah. Jika Allah telah menetapkan sesuatu, maka itu pasti yang terbaik.
Hari itu, Aisyah memutuskan untuk mengikhlaskan Fathan. Bukan karena ia tidak mencintainya, tetapi justru karena ia mencintainya. Ia ingin Fathan bahagia, dan ia percaya bahwa Allah lebih tahu apa yang terbaik untuk mereka berdua. Aisyah berdoa, memohon agar Allah menggantikan rasa sakit di hatinya dengan ketenangan, agar Allah menghapus cinta yang tidak menjadi takdirnya, dan menggantikannya dengan cinta yang membawa ia lebih dekat kepada-Nya.
Waktu berlalu. Aisyah mulai menerima kenyataan dengan hati yang lapang. Ia fokus memperbaiki dirinya, memperbanyak ibadah, dan menjalani hidup dengan penuh syukur. Ia sadar, hidup ini bukan tentang memiliki apa yang kita inginkan, tetapi tentang menerima apa yang Allah berikan dengan penuh keikhlasan.
Suatu hari, saat ia sedang berjalan di taman, seorang perempuan tua mendekatinya. "Nak, wajahmu begitu tenang. Apa rahasianya?"
Aisyah tersenyum. "Saya hanya belajar untuk mencintai Allah lebih dari segalanya, Bu. Ketika kita mencintai-Nya, hati kita akan selalu tenang, meskipun apa yang kita inginkan tidak selalu kita dapatkan."
Perempuan tua itu tersenyum bijak. "Kau benar, Nak. Allah adalah tempat terbaik untuk menitipkan hati."