Lihat ke Halaman Asli

Umi Setyowati

Ibu rumah tangga

Selarik Puisi Ibu

Diperbarui: 31 Juli 2017   13:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Setiap petangku  adalah tunggu. Berpeluk kelu kududuk disiksa waktu. Setetes ragu jatuh di secankir kopi yang kuseduh. Seringkali hingga dingin tak tersentuh. 

Kalau ada yang membuatku gusar. Itulah kamu, lelakiku. Acap nian kau pulang lewat waktu. Ucapmu selalu berulang, sabar, sabaar! Padahal mestinya kau tahu, aku sudah bertahun belajar. Sudah sangat pintar kini bersabar. 

Setiap malamku adalah jemu. Yang merumbai di seprai abu-abu. Warna kesukaanmu. Kadang aku tak tahan beradu pilu dengan rentang waktu. Pada rembulan pucat di awan, inginku jangan tergesa berlalu. 

Kalau aku mau marah, pastilah pada setumpuk kertas kerjamu. Mengapa masih mengekormu?  Tak cukupkah kalian bermesraan seharian. Walaupun akan menjelma lembaran -lembaran merah di awal bulan. Itu bukan segalanya bagiku, bukan! 

Kini, di setiap pagiku adalah sepi. Setelah kau pergi,  aku menabung rindu. Nyaris tumpah ruah di relung kalbu.Sederet tanya menyerbu. Bilakah pulang buah hatiku. Berbilang tahun pergi, tidakkah merindu rumahmu. Ibu menunggu. 

***

Satu malam kutemukan selarik puisi ibu, terselip diantara lipatan baju. Beliau sedang tak sehat. Memintaku mengambil baju hangat. Melihat tanggalnya, ditulis setahun yang lalu. Mungkin ketika tak jua aku menghirau pintanya untuk kembali. Sungguh bukan niatanku menjadi anak tak berbakti. Ketika kutempuh jalanku sendiri. 

Bukankah jalan hidupku tak harus searah. Menanjak dewasa kuingin melebarkan langkah. Mengepak sayap setinggi terbang menjelajah. 

Andai ibu tahu. Betapa deras arus yang kulalui. Kadang serupa sungai, tenang dan tetiba bergelombang. Aku harus tetap berenang agar sampai ke tujuan yang kurancang. Tak mudah memang. Walau masih panjang membentang, aku tak boleh patah arang. 

Namun, sekali lagi kudapati jalan bersimpang. Siapa yang menduga pun sulit kupercaya, Ibu yang sakit tetapi Tuhan mengambil Ayah yang sehat. 

Di sinilah sekarang aku dalam bimbang. Antara pulang mendampingi ibu atau terbang lagi melanglang. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline