TQM SEBAGAI UPAYA STRATEGIK UNTUK
MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN
Oleh: Umbu Tagela dan Arief Sajiarto
Pengajar di FKIP UKSW Salatiga
TQM muncul sebagai akibat persaingan antara Jepang dan Amerika memperebutkan segmen pasa bagi barang-barang produksinya, seperti mobil, elektronik dan barang tehnologi lain.Sebelum tahun 1970-an produksi barang --barang industri Amerika menguasai pasar dunia. Barang-barang industri Jepang pada waktu itu kurang diminati pasar dunia lantaran kualitasnya masih rendah dibanding barang industri produk Amerika. Daya saing yang dikembangkan Jepang untuk ikut merebut pasar dunia adalah harga barangnya murah.
Akibat fenomena empirik, dimana produk industri Amerika menguasai pasar dunia, mulailah Jepang belajar keras untuk merubah strategi industrinya. Jepang mulai menata kualitas sumber daya manusianya, proses produksi dan fasilitas atau lingkungannya secara sinambung. Akhirnya pada tahun 1970-an barang-barang industri produk Jepang berhasil merajai pasar dunia. Barang-barang industri produk Amerika dan negara-negara barat yang biasanya memiliki pangsa pasar permanen mengalami penurunan drastis. Akibatnya Amerika mulai menggalakkan aspek pemasaran secara intensif untuk merebut kembali pasar dunia. Upaya ini ternyata tidak berhasil. Amerika terlambat menyadari bahwa untuk menguasai pasar dunia, maka produknya harus memiliki kualitas daya unggul. Berangkat dari pengalaman itulah Amerika mulai membangun komitmennya yang terkenal dengan gerakan total quality. Amerika sadar bahwa untuk merebut pasar dunia harus menghasilkan produk yang berkualitas. Dan untuk menghasilkan kualitas terbaik mesti dilakukan upaya perbaikan secara berkesinambungan terhadap kemampuan manusia, proses dan lingkungan, dan cara terbaik untuk melakukan itu semua adalah dengan menerapkan total quality management.
Perbincangan tentang pendidikan di Indonesia lebih diwarnai oleh pemahaman bahwa pendidikan merupakan konsumsi. Atas dasar itu, kemudian kita berbicara tentang hak setiap warga negara untuk memperoleh pengajaran sesuai UUD 45. Perbincangan tentang hak setiap warga negara untuk memperoleh pengajaran merupakan problem pendidikan yang tidak kunjung berakhir. Sejak jaman penjajahan hingga saat ini, pendidikan berpihak pada the upper class. Kelompok the upper class ini memiliki akses dan kesempatan yang besar atas pendidikan (Havighurst,1972). Mereka memiliki modal ekonomi yang kuat untuk memperoleh pelayanan pendidikan pada sekolah-sekolah bermutu (Illick,1982). Pendidikan menurut kelompok ini tidak sekedar konsumsi tetapi juga merupakan investasi. Sementara kebanyakan masyarakat kita belum menempatkan pendidikan sebagai investasi. Masyarakat kita menginginkan pelayanan pendidikan yang bermutu dengan biaya yang murah, kalau perlu gratis. Disinilah letak critical point pendidikan kita hingga saat ini (Umbu Tagela,2001).
Pidato Theodore W. Schultz tahun 1960 di hadapan The American Economic Assosiation yang berjudul "Investment in Human Capital " merupakan peletak dasar teori human capital. Makna substansial yang terkandung dalam isi pidato itu adalah bahwa proses perolehan pengetahuan dan ketrampilan melalui pendidikan bukan semata-mata merupakan konsumsi, tetapi juga merupakan suatu investasi. Pada Tahun 1966 Bawman memperkenalkan suatu konsepsi revolusi investasi manusia dalam pemikiran ekonomi. Gagasan-gagasan tersebut di atas pada waktu itu sangat mempengaruhi pola pikir pemerintah, para perencana, lembaga-lembaga internasional, juga para pendidik di seantero dunia dalam merencanakan dan mengembangkan sumber daya manusia. Akibatnya terjadi ekskalasi permintaan pendidikan di negara-negara berkembang yang ditandai oleh masalisasi pendidikan yang hingga saat ini masih merupakan salah satu trade mark pendidikan di sebagian besar negara-negara berkembang (Cummings,1980).
Pendidikan merupakan entry point bagi pembangunan suatu bangsa. Andaian ini telah dibuktikan oleh Jepang sejak jaman Tokugawa (1600) dan berhasil menyejajarkan Jepang dengan negara maju seperti Amerika Serikat, Jerman, Perancis dan Inggris (Cummings,1984). Sebaliknya andaian tersebut di Indonesia kurang dapat diterima akibat pembenaran egositas keilmuan yang bernuansa politik. Pendidikan, ekonomi dan stabilitas ditempatkan pada sumbu lingkaran yang sama, dalam arti; pembangunan bidang pendidikan tidak akan berhasil jika pembangunan ekonomi kurang berhasil. Demikian pula pembangunan ekonomi tidak berhasil jika stabilitas keamanan sebagai prasyarat kurang mantab. Sebaliknya pembangunan ekonomi tidak berhasil jika tidak ditopang dengan ketersediaan sumber daya manusia berkualitas. Demikian pula stabilitas keamanan tidak dapat dicapai jika kondisi ekonomi bangsa terpuruk dan kualitas sumber daya manusianya rendah(Wardiman,1995\0.
Dalam kerangka pikir seperti itulah ketiga komponen di atas berjalan seiring dalam praktek pembangunan selama ORBA. Namun karena jargon politik ORBA berkiblat pada pembangunan ekonomi maka selama ORBA pembangunan ekonomi menjadi entry point dalam pembangunan nasional. Kondisi obyektif ini akhirnya menghadirkan masalah yang sangat serius setelah munculnya UU.NO.22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah khususnya otonomi daerah. Salah satu persoalan utama otonomi daerah adalah sumber daya manusia baik dalam jumlah maupun dalam kualitas (Umbu Tagela,2000). Dalam tautan makna yang sama, Napitupulu (1997) mengatakan tantangan besar yang bakal dihadapi bangsa Indonesia di masa depan adalah : (1). Tantangan yang bersumber dari kehendak kita untuk mencapai keunggulan dalam pembangunan nasional, peningkatan terus menerus pertumbuhan ekonomi dan produktivitas nasional, sehingga mampu memasuki persaingan global,(2). tantangan yang bersumber dari transformasi budaya, yaitu dari masyarakat agraris ke masyarakat industri, (3). Tantangan yang ditimbulkan oleh gejala globalisasi, gejala di mana batas-batas politik dan ekonomi antar bangsa menjadi samar (borderless world) dan hubungan antar bangsa menjadi lebih transparan, (4).tantangan akibat munculnya kolonialisme baru dalam bentuk kolonialisme ilmu pengetahuan dan tehnologi.
Keempat tantangan tersebut di atas memiliki hubungan yang signifikan dengan dunia pendidikan, karena bermuara pada tuntutan tersedianya sumber daya manusia yang berkualitas.