Lihat ke Halaman Asli

Hari Konstitusi, Pahitnya Kala Penghujung 18 Agustus 1945

Diperbarui: 18 Agustus 2018   13:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dari 17 Agustus Lalu ke 18 Agustus

17 Agustus adalah tanggal kemerdekaan Indonesia. Sudah 67 tahun terhitung dari tahun 1945 Soekarno-Hatta, atas nama bangsa Indonesia, memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Setiap tahun itu pula rakyat Indonesia gegap gempita merayakannya. Bendera berkibar di setiap rumah penduduk. Kantor-kantor pemerintahan pun mewajibkan pegawainya untuk melakukan upacara kemerdekaan. Anak-anak sekolah juga tak ketinggalan untuk ikut memperingati hari kemerdekaan Indonesia ini.

Tapi sadarkah wahai ummat Islam Indonesia, bahwa telah terjadi sebuah pengkhianatan yang dilakukan kaum Sekuler-Kristen sehari setelah kemerdekaan. Pengkhianatan dilakukan dengan mengajukan keberatan terhadap beberapa point Piagam Jakarta yang sebenarnya tidak ada sangkut-pautnya dengan kehidupan mereka. 

Dan ini merupakan pukulan telak bagi ummat Islam Indonesia. Kesepakatan mufakat oleh Panitia Sembilan dicederai oleh oknum yang berkeberatan dan diputuskan perubahan Piagam Jakarta tanpa melaui perundingan lagi oleh para perumus yang menandatanganinya.

Undang-Undang Dasar 1945 merupakan dasar dari undang-undang turunan yang ada di Indonesia sekarang. Setiap undang-undang baru yang akan disusun, akan melirik seperti apa bentuk undang-undang dasarnya. Tidak ada undang-undang baru yang akan dibuat menyelisihi undang-undang dasar yang sudah ditetapkan dan disepakati bersama.

Melirik kepada UUD 1945 yang Ir.Soekarno bilang dijiwai oleh Piagam Jakarta, perubahan 4 point dari hasil kesepakatan yang ditandatangani pada tanggal 22 Juni 1945 itu menurut saya sangat memberikan goresan luka di hati kaum muslimin pada saat itu. 

Sehari setelah hari kemerdekaan, yaitu tanggal 18 Agustus, saat sidang PPKI ingin mengesahkan UUD sebagai landasan bernegara, Bung Hatta melakukan lobi untuk merubah 4 point dalam Piagam Jakarta. Lobi Bung Hatta didasari oleh desakan kelompok Sekuler-Kristen berasal dari Indonesia Timur yang merasa keberatan dengan tujuh kata pada sila pertama yang disampaikan kepadanya melalui seorang Opsir Jepang yang bahkan Bung Hatta sendiri lupa siapa nama Opsir tersebut

Ini merupakan sebuah hal keanehan untuk dipikirkan manakala seorang yang membawa pesan penting di detik-detik pemersatuan Indonesia tidak dikenal identitasnya. Padahal sejarah itu memerlukan informasi yang valid. 

Keanehan lainnya adalah Bung Hatta tidak melakukan lobi terhadap kelompok Islam yang menandatangani Piagam Jakarta. Jika disebutkan ada KH.A.Wahid Hasyim (salah seorang penanda tangan Piagam Jakarta) saat Bung Hatta melobi, itu adalah sebuah pembelokan sejarah. 

Mengapa Bung Hatta secara sepihak tidak menyertakan para penanda tangan Piagam Jakarta (yang salah seorangnya adalah pihak Kristen dari Indonesia Timur, AA Maramis) dalam lobi perubahan Piagam Jakarta ?

Untuk menepis segala tudingan itu, belakangan Hatta menceritakan kronologis peristiwa penghapusan tujuh kata tersebut dalam buku Sekitar Proklamasi Kemerdekaan Indonesia:

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline