Dalam artikel ini, akan diulas sejumlah poin penting dari jurnal internasional berjudul "Perang Saudara Sudan Selatan dan Dinamika Konflik di Laut Merah" yang ditulis oleh Payton Knopf.
Benua Afrika saat ini menghadapi krisis pengungsi terbesar sejak genosida Rwanda, dengan lebih dari sepertiga penduduk Sudan Selatan mengungsi dan dua pertiga lainnya mengalami kerawanan pangan yang parah. Kerusuhan di Sudan Selatan menunjukkan adanya pergeseran di Tanduk Afrika, di mana konflik saling memperburuk akibat interaksi antara berbagai kepentingan negara. Ketegangan antara Mesir, Sudan, dan Ethiopia terkait penggunaan Sungai Nil serta persaingan pengaruh antara Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Qatar, dan Turki semakin memperburuk situasi. Pendekatan Amerika Serikat terhadap kawasan ini, yang telah berubah seiring dengan pemerintahan Trump, juga berdampak pada stabilitas regional, menciptakan kondisi yang lebih berbahaya dan memperpanjang penderitaan masyarakat setempat.
Sudan Selatan sebagai Pion Regional
Persaingan antara Sudan dan Uganda atas Sudan Selatan telah berlangsung lama, terutama sebelum kemerdekaan negara tersebut pada tahun 2011. Ketegangan ini muncul dari dukungan kedua negara terhadap kelompok-kelompok bersenjata di Sudan Selatan, yang diperburuk oleh sengketa perbatasan dan distribusi pendapatan minyak. Presiden Sudan Selatan, Salva Kiir, semakin bergantung pada Uganda untuk dukungan militer dan diplomatik. Uganda, dengan dukungan Amerika Serikat, berperan penting dalam menjaga rezim Kiir dari ancaman oposisi, terutama selama perang saudara yang dimulai pada tahun 2013. Di sisi lain, Sudan juga berupaya memperkuat pengaruhnya dengan mendelegasikan perundingan damai, tetapi banyak pengamat melihat ini sebagai usaha untuk menguasai pendapatan minyak Sudan Selatan dengan mengorbankan kedaulatan negara tersebut.
Dalam konteks persaingan regional, Ethiopia dan Uganda saling bersaing untuk mendapatkan pengaruh di kawasan tersebut. Perubahan kepemimpinan di Ethiopia, terutama setelah kematian Perdana Menteri Meles Zenawi, membuka peluang bagi Yoweri Museveni dari Uganda untuk menggeser posisi Ethiopia sebagai hegemoni regional. Uganda terlibat dalam aksi sepihak di Sudan Selatan, menghalangi inisiatif diplomatik yang dipimpin oleh Ethiopia. Di tengah ketegangan ini, Sudan Selatan menjadi arena perebutan antara Ethiopia dan Mesir terkait pengelolaan Sungai Nil, di mana Mesir berupaya menjaga kepentingannya menghadapi proyek Bendungan Besar Renaissance Ethiopia.
Dalam hubungan internasional, Kiir memanfaatkan persaingan ini dengan mendekati Mesir, yang mendukung posisinya di PBB dan memberikan bantuan militer. Mesir juga tertarik untuk menghidupkan kembali proyek infrastruktur seperti Kanal Jonglei untuk mengurangi dampak proyek bendungan Ethiopia. Sementara itu, Sudan dan Ethiopia mengembangkan kemitraan di bidang politik dan keamanan, sementara ketegangan antara Sudan dan Mesir tetap ada, terutama terkait penyediaan senjata untuk kelompok-kelompok oposisi. Meski ada upaya untuk meredakan ketegangan, hubungan antarnegara di kawasan ini tetap kompleks dan dipengaruhi oleh dinamika kekuasaan yang saling bersaing.
"Arena" Laut Merah
Dalam menghadapi tantangan konflik di Sudan Selatan, diplomasi AS perlu memperhitungkan dinamika yang lebih luas di wilayah Laut Merah, yang mencakup Tanduk Afrika serta negara-negara Teluk. Sejak peran AS dalam mengakhiri perang saudara Sudan pada tahun 2005, situasi geopolitik telah berubah secara signifikan. Perbedaan antara situasi di Tanduk Afrika dan Laut Merah telah menipis, dipicu oleh meningkatnya kehadiran dan investasi Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Turki, dan Qatar di kawasan tersebut. Negara-negara ini telah mengembangkan infrastruktur penting, seperti pelabuhan dan pangkalan militer, dengan tujuan meningkatkan pengaruh politik dan ekonomi mereka.
Kompetisi antara negara-negara Teluk untuk mendapatkan pengaruh di Sudan, Somalia, dan Libya menambah kompleksitas situasi. Misalnya, Arab Saudi dan UEA memberikan insentif kepada Eritrea dan Sudan, sementara Turki dan Qatar berinvestasi secara signifikan di Sudan dan mendukung pemerintah Somalia. Ketegangan antara berbagai aktor ini berpotensi memperburuk konflik yang sudah ada dan menciptakan ketidakstabilan lebih lanjut di kawasan yang rawan.