Lihat ke Halaman Asli

Repotnya Mengatur TV Berjaringan di Indonesia

Diperbarui: 26 Juni 2015   18:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_52232" align="alignleft" width="282" caption="Logo Stasiun-stasiun TV Nasional"][/caption] Kira-kira dua minggu lalu, atau tepatnya tanggal 28 Desember 2009, adalah merupakan batas akhir pelaksanaan sistem penyiaran televisi berjaringan, yang mengharuskan seluruh televisi yang memiliki daya frekuensi siaran nasional, seperti SCTV, RCTI, TPI, Metro TV, Indosiar, TVone, ANTV, Trans TV, Trans7, dan Global TV, agar melepaskan frekuensi terhadap daerah-daerah siaran mereka dan menyerahkan pada orang/lembaga/organisasi daerah yang ingin menggunakannya untuk dikembangkan. UU No 32/2002 mewajibkan TV swasta dari Jakarta berjaringan, dan sistem siaran berjaringan (SSB) ini sebenarnya sudah cukup lama akan dilaksanakan. Setahu penulis, awalnya hendak dilaksanakan pemerintah tahun 2007, namun diundur dengan alasan ini-itu, dan akhirnya dibatasi sampai 28 Desember 2009. Tidak ada tawar menawar lagi, alias titik. Artinya, bila televisi-televisi dimaksud diatas, berlokasi di Jakarta menginginkan siarannya dapat diterima di daerah tertentu, maka ia harus bekerjasama dengan televisi yang ada di daerah bersangkutan. Misalnya, mau siarannya masuk ke Lampung, ya tinggal ngajak kerjasama saja bang Firman Seponada atau bang Imam Sobari dari Lampung TV, atau hubungi saya buat mengenalkan ke mereka (kalau belum kenal). Dengan kata lain, Stasiun TV induk bertindak sebagai koordinator yang siarannya direlai oleh anggota (pasal 34 ayat 1 dan 2 PP Penyelenggaraan Lembaga Penyiaran Swasta). Dalam TV berjaringan spirit dasar dari siaran berjaringan adalah terpenuhinya aspek diversity of ownership, diversity of content, dan kearifan lokal. Namun anehnya, atau barangkali beliau-beliau yang berwenang itu lupa? Sampai pagi tadi saya menonton televisi, nampaknya belum terlihat sistem ini dilaksanakan oleh semua TV nasional kita, kecuali TVOne yang sudah punya TVOne Surabaya, Makassar dan Medan (sebelumnya mereka menggunakan istilah biro). Lantas apa sih beratnya melaksanakan amanat undang-undang, padahal telah ada beberapa kali penundaan. Termasuk uji materiil ke Mahkamah Konstitusi. Hasilnya, MK mengoreksi Pasal 62, dengan memberi kewenangan pembuatan peraturan pemerintah (PP) hanya kepada presiden, tanpa bersama Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dan belum selesai. Tahun 2006, ganti KPI mengajukan uji materiil kedua atas UU ini. Tahun 2005, pemerintah mengeluarkan beberapa PP Penyiaran. Salah satunya PP No 50 Tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran Swasta. Di situ diatur, sistem penyiaran berjaringan harus diberlakukan paling lambat 28 Desember 2007. Namun, PP 50 bernasib sama, ditentang KPI dan di-judicial review ke MA. Hal itu merupakan bagian ”konflik kewenangan” antara KPI dan pemerintah, berlangsung tahun 2003 hingga 2007. Keputusan judicial review atas kedua peraturan itu baru diputus April 2007 dan diterima pemerintah Agustus tahun lalu. Sekarang, mari kita tengok sebentar pendapat para pakar. Apa sih manfaat SSB ini :

  • Sistem siaran berjaringan ini memiliki manfaat untuk menciptakan sistem penyiaran yang berkeadilan dan berpihak pada publik. Karena selama ini dominasi isi siaran televisi dipegang oleh para televisi yang berlokasi di Jakarta. Bahkan isi siarannya sudah sampai pada level menghegemoni.
  • Sistem berjaringan mampu mengakomodasi isi siaran lokal sehingga dapat menjadi pengerem terhadap isi siaran yang memiliki bias kultur, nilai, dan cara pandang orang yang tinggal di Jakarta. Dengan begitu ada terdapat ruang bagi masyarakat daerah untuk mengekspresikan hasrat, kepentingan, kultur, nilai, dan cara pandang orang daerah di ruang publik yang bernama penyiaran. Sehingga tercipta penyiaran yang berkeadilan mendudukan kepentingan daerah dan kepentingan Jakarta pada posisi yang setara dan sejajar.
  • Dengan diberlakukannya sistem ini maka porsi iklan yang jumlahnya triliunan rupiah yang selama ini hanya dinikmati TV yang ada di Jakarta akan terditribusi ke televisi-televisi lokal yang ada di daerah. Dengan begitu, pemerataan ekonomi di bidang penyiaran akan terjadi.
  • Pemerataan kesempatan bagi investor lokal di daerah untuk dapat berpartisipasi dalam bidang pertelevisian.

Terlepas dari sengketa ini-itu, penulis berpendapat, penataan penyiaran harus dilakukan tepat waktu. Apa pun yang terjadi, UU harus ditegakkan, sedangkan masalah-masalah lainnya, kan bisa dibenahi sambil jalan .... gitu aja koq repot. Salam




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline