Lihat ke Halaman Asli

Umar Fauzi

Mahasiswa

Salah Branding dan Gaya Komunikasi Jenius

Diperbarui: 18 November 2020   17:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Jika mendengar kata jenius, apakah yang muncul di otak kalian? Apakah sebuah bank digital atau sekadar e-wallet?. Begitulah branding, sesuatu yang muncul pertama kali di benak seorang customer terhadap suatu perusahaan merupakan hasil dari branding perusahaan itu sendiri. Branding adalah suatu hal yang melekat pada benak seseorang dan jarang atau bahkan sulit untuk diubah.

Jenius sejak berdirinya, memasarkan dan menggembar-gemborkan dirinya merupakan tempat penyimpanan uang yang bisa melakukan transfer tanpa biaya admin kepada bank-bank lain, ditambah lagi fitur-fitur lainnya seperti money saver dan manajemen uang lainnya yang semuanya dapat diakses secara online dengan sebuah aplikasi tanpa perlu ribet pergi ke sebuah bank dan mengantri dari sejak pembukaan rekening hingga urusan-urusan lainnya. Terlihat dari hal tersebut, branding yang dibangun oleh jenius hanya sebatas fitur-fitur yang menjanjikan dan hemat karena tidak merogoh kocek biaya administrasi, tanpa sedikitpun bahkan sangat jarang mensosialisasikan bahwa jenius merupakan suatu bank yang dibawahi oleh bank btpn dan sebagainya. Hal itu jelas membangun citra jenius di mata customer hanya sebagai sebuah e-wallet seperti halnya ovo, gopay, linkaja dll. 

Branding tersebut memang tidak terlalu menghasilkan dampak bagi jenius untuk beberapa waktu, tetapi hal ini jelas terlihat dampaknya ketika jenius memberlakukan denda/biaya administrasi yang mereka sebut feesible.dalam publikasinya, terlihat banyak sekali komentar yang menunjukkan kekecewaan dan mengatakan untuk memindahkan saldo ke e-wallet. Hal ini tentu karena 2 kesalahan jenius dalam melakukan branding. Pertama, jenius selalu menggamborkan bahwa ia merupakan bank yang ramah di kantong mahasiswa sehingga tidak ada kegiatan yang dipungut biaya. Kedua, jenius tidak pernah atau atau sangat jarang mensosialisasikan dirinya sebagai bank, sehingga terbangun citra e-wallet.

Selain itu, hal yang membuat customer kecewa dengan adanya feesible ini adalah, mereka menganggap bahwa ini adalah biaya berlangganan karena memakai jenius, meski pesan yang dibangun dalam dalam publikasi tersebut merupakan pesan empatik, dimana terdapat diksi untuk membangun jenius bersama. Namun karena pesan yang disampaikan terlihat sangat belibet dan berputar-putar, empati yang diharapkan oleh penulis pesan menjadi tidak tersampaikan, padahal jika ingin mengadakan biaya tinggal bilang saja bahwa ia adalah seperti halnya, bank lainnya yang melakukan biaya administrasi sehingga customer tak perlu lama mencerna suatu pesan dan malah menjadi multi-tafsir.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline