Umar Farouk Zuhdi
Akhir-akhir ini saya sering mendapatkan WhatsApp yang isinya artikel-artikel keagamaan bernada radikalisme dan eksklufisme. Kalau itu deretan judul lagu, maka pasti kalau lagu-lagu itu diputar akan membuat telinga saya agak sakit, pekak, dan lagu-lagi itu bukan lagi hadir sebagai simfoni spiritual yang indah. Agama bagi saya adalah keindahan, kesyahduan, dan melodi ketuhanan yang membuat hati menjadi lembut, nyaman, dan berada pada tangga kemuliaan. Artikel-artikel yang menebarkan eksklusivisme dan radikalisme kalau boleh saya analogikan bagaikan lagu-lagu yang dinyanyikan dengan suara mblero dan orkestrasi yang kacau. Wujud kongkritnya adalah ketika ada demo-demo kelompok Islam ‘bumi datar’ yang ramai meneriakkan takbir sambil melakukan tindakan-tindakan anarkis yang menabrak nilai-nilai sakral keagamaan. Bayangkan, ketika nama Allah yang maha indah dijadikan ‘molotov’ untuk menakuti dan melawan siapa pun yang diangggap berbeda. Radikalisme wahabi, sebagaimana yang terbukti dalam sejarah di Timur Tengah, memang tak bisa dipungkiri telah menjadi instrumen politik menghalalkan segala cara (machiavelis?) untuk menggapai kekuasaan. Radikalisme yang tumbuh subur di negeri ini pada dekade terakhir tampak jelas berujung pada persoalan yang sama: kekuasaan.
Terasa dungu ketika orang menilai bahwa demo-demo di Jakarta untuk melawan Ahok dan Jarot itu murni persoalan agama dan nihil dari soal kekuasaan. Mengapa? Sebenarnya elit politikus dan elit tokoh agama yang ber-shaf-shaf ada di belakangnya bukan oknum-oknum yang steril dari political interests. Mereka pun faham benar bahwa soal kepemimpinan dalam Islam itu multi tafsir. Artinya ketika mereka mem-bid’ah-kan atau meng-kafir-kan umat atau ulama Islam lainnya yang berbeda pendapat, maka itu adalah ekspresi arogansi yang berbenturan dengan etika kemuliaan dalam ajaran Islam. Bukankah misi kerasulan Muhammad itu ‘Innamaa bu isttu li utammima makaaarimal akhlaaq’? Apapun ucapan, perilaku, tindakan yang tidak dikemas dalam kemuliaan akhlak maka hal tersebut telah secara frontal gagal membawa label Islam. Oleh sebab itu Islam identik dengan atribut kasih sayang, emphati, kepeduliaan, kerendah-hatian, kebersahajaan, kesabaran, ketulusan, dan sebagainya.
Siapa yang ‘diperangi’ jamaah eksklusif dan radikal ini? Jawabannya akan terang benderang: siapa pun yang berbeda pandangan dengan kelompok mereka. Orang-orang yang berbeda agama dan orang-orang seagama yang tidak mau mengikuti keyakinan mereka. Dalam akidah, mereka monolitik. Maka, tidak heran jika di Jakarta muncul spanduk-spanduk yang melarang men-sholati jenazah yang ketika dalam hidupnya orang yang meninggal tersebut berbeda pilihan politiknya. Ini sungguh ngawur. Agama dikooptasi dengan syahwat politik. Agama itu milik Allah sedangkan syahwat politik hanya berisi ‘akal bulus’ manusia untuk mendapatkan keuntungan duniawi. Buktinya banyak pemimpin muslim yang pada waktu pilkada jualan agama dengan menggunakan ayat-ayat kitab suci yang mulia itu pada saat memegang amanah tampuk kekuasaan sebagai bupati, gubernur, menteri, ketua parpol dan jabatan-jabatan di pemerintahan lainnya, mereka tidak sedikit yang akhirnya masuk ke jeruji besi karena tertangkap KPK, bukan? Ini artinya, sungguh berresiko dan sok suci menggunakan agama sebagai alat politik semacam itu. ‘Walaa tasytaruu bi ayaatii tsamanan qaliilan wa iyyaaya fattaquun’ (Al-Baqarah: 41). Yang repot, jika tindakan radikalisme dianggap sebagai bentuk ekspresi keimanan kelompok. Yang tidak radikal adalah orang-orang tidak beriman! Ini lebih ngaco lagi. Sesungguhnya Islam itu agung dan seringkali keagungannya justeru ditutupi oleh umat muslim sendiri. Kata Dr. Moh. Abduh, pakar keislaman dari Mesir: ’Al Islaamu makhjuubun bil muslimiin’. Ngapunten. Matahari sudah mulai turun. Saatnya menjelang sholat maghrib. Teh panas dan pisang gorengnya sudah tak bersisa lagi. Saya tinggalkan laptop di taman belakang rumah dengan pepohonan yang mulai tampak sayup. Ngapunten. Tabik....!
Kaki Gunung Ungaran
27 Maret 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H