sumber awal: Manajemen-TI
Penulis: Umar Alhabsyi, MT, CISA, CRISC.
Sertifikasi itu bukti. Sertifikasi itu pengakuan. Pengakuan dari mana? Sertifikasi adalah bukti pengakuan darisebuah pihak/badan yang memiliki otoritas untuk memberikan kepada pihak-pihak tertentu yang memenuhi sejumlah kriteria yang ditetapkan. Sertifikasi itu setidaknya ada 3 macam:
Pertama, sertifikasi proses. Merupakan pengakuan terhadap penerapan sejumlah praktik-praktik baik pada sebuah organisasi. Misalnya kita mengenal ada sertifikasi ISO 27001 untuk penerapan sistem manajemen keamanan informasi (ISMS). Atau yang mungkin lebih sering kita dapati adanya sertifikasi ISO 9000 untuk sistem manajemen kualitas. Dan masih banyak lagi sertifikasi-sertifikasi yang diperuntukkan sebagai bukti pengakuan penerapan proses-proses tertentu di organisasi. Setiap organisasi perlu mempertimbangkan biaya dan manfaat yang diperoleh dari sertifikasi ini.
Kedua, sertifikasi personal. Sertifikasi ini mirip dengan SIM (surat izin mengemudi) bagi orang yang ingin mengendari kendaraan bermotor jenis tertentu. Orang yang ingin mengendarai motor harus punya SIM C, mau nyopir mobil pribadi mesti punya SIM A, dst. Dalam hal IT, seringpula diterapkan sertifikasi-sertifikasi untuk orang-orang yang berhak untuk mengakses sistem-sistem atau data kritikal tertentu.
Ketiga, sertifikasi profesional. Sertifikasi jenis ini dikeluarkan oleh lembaga-lembaga yang diakui kredibilitasnya terhadap individu-individu tertentu sebagai profesional di bidangnya. Untuk mendapatkan sertifikasi-sertifikasi ni, setiap orang mesti memenuhi kebutuhan (pendidikan dan pengalaman) yang dipersyaratkan, serta lulus dari ujian yang diselenggarakannya. Seringkali juga terdapat pengujian kembali bahwa pemangku sertifikasi tersebut memang masih berhak untuk memegang sertifikasi tersebut melalui beberapa mekanisme yang ditetapkan. Misalnya ISACA menerapkan mekanisme CPE (continuing professional education) yang harus dilaporkan setiap tahunnya untuk memastikan bahwa pemangku sertifikasi memang masih berhak untuk memegang sertifikasi tersebut. Hal ini juga mengingat perkembangan dunia TI yang begitu cepat, sehingga seseorang bisa cepat ketinggalan zaman jika tidak terus mengikuti dan menggunakan keahlian yang dimilikinya.
Kebutuhan terhadap sertifikasi (terutama jenis yang ketiga) muncul antara lain akibat dari semakin banyaknya penyedia, kebutuhan akan pengakuan, dan sebab-sebab spesifik lainnya. Jika kita sering mengikuti atau memperhatikan proses-proses tender di berbagai perusahaan, iklan lowongan pekerjaan, dan sejenisnya maka tentu kita akan sering melihat adanya tuntutan (atau setidaknya preferensi) terhadap kepemilikan sertifikasi yang mendukung kebutuhan dari pekerjaan yang dilelangkan atau lowong tersebut. Seingat saya, dulu tuntutan adanya sertifikasi ini tidak banyak muncul. Tapi seiring dengan semakin banyaknya supply dibanding demand, dan menurunnya kepercayaan orang terhadap produk dari pendidikan-pendidikan umum yang menjamur berikut kemudahan mendapatkan sertifikasi (ijazah) kelulusannya, maka tuntutan sertifikasi keahlian spesifik tertentu menjadi menguat. Sertifikasi juga dapat meningkatkan “nilai” dari pemangkunya.
Karena tuntutan kebutuhan tersebut, maka ada saja pihak-pihak tertentu yang mungkin terbiasa nyontek/curang sejak kecilnya yang kemudian malah memalsukan sertifikat, alih-alih berusaha untuk mendapatkannya melalui jalur-jalur semestinya. Dan sebagaimana fitrahnya, sekali seseorang berbohong maka ia akan cenderung untuk terus berbohong untuk menutupi kebohongan sebelumnya. Kecuali ada yang memotong rantai kebohongan tersebut, sukarela ataupun dipaksa.
Di sisi lain, terkadang kita juga menjumpai persyaratan seperti dalam beberapa tender itu agak berlebihan bahkan kurang relevan sehingga sangat sulit bisa memenuhi semua persyaratan tersebut. Atau mungkin persyaratannya memang dirancang hanya untuk dapat dipenuhi oleh suatu kandidat tertentu saja. Sehingga kebanyakan tender-tender di negeri kita ini lebih tepat dibilang sebagai kontes administratif ketimbang teknis. Pantia atau penilai lebih mementingkan apa yang tersurat dalam dokumen-dokumen ketimbang penilaian terhadap penguasaan peserta terhadap permasalahan dan solusi yang dibutuhkan. Sehingga jadilah orang berlomba memperindah dokumen dan melengkapinya dengan sertifikasi-sertifikasi yang beberapa diantaranya lalu mereka bajak dari kepunyaan orang lain tanpa izin atau ya mereka palsukan. Karena itulah yang membuat mereka bisa memenangkan kontes. Sementara setelah menang, akan lain lagi ceritanya. Bisa diatur kemudian, yang penting menang dulu, katanya. Sementara yang sebenarnya lebih pantas (kompeten) untuk menang menjadi tersingkirkan oleh para petualang ahli “tender engineering” ini. Hadeuh. Makin runyamlah negeri ini dibuat orang-orang seperti ini.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H